Mengantisipasi dan Menanggapi Kabut Asap di Kalimantan Barat
Setiap tahun, provinsi-provinsi yang berada di Pulau Kalimantan akan tertutup kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Meskipun pemerintah daerah setempat telah memiliki regulasi untuk membatasi pembukaan lahan dengan cara membakar hutan, namun situasi ini membutuhkan penyelesaian yang menyeluruh. Karhutla di Kalimantan juga makin sulit dikendalikan karena pengaruh perubahan iklim yang makin ekstrim. Seperti yang terjadi pada tahun 2023 ini, beberapa provinsi di Kalimantan sempat menyatakan tanggap darurat kabut asap. Kebakaran hutan ternyata meluas dan sulit dikendalikan karena berbarengan dengan fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) yang dikenal dengan sebutan El Nino.
Kalimantan Barat contohnya, area di mana WVI mendampingi beberapa kabupaten, juga kembali mengalami kabut asap akibat karhutla di semester kedua tahun 2023. Kabut asap membuat kualitas udara sangat burut dan berbahaya untuk kelompok sensitif, salah satunya adalah anak-anak. Puncaknya, sekolah-sekolah di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat sampai harus diliburkan agar para siswa terhindar dari paparan udara yang buruk untuk dihirup. Pemerintah juga menghimbau untuk mengurangi aktivitas di luar rumah agar tidak menghirup udara yang dapat menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA).
Menghadapi situasi ini, pada Agustus sampai September 2023 lalu WVI melakukan tanggap bencana kabut asap Kalimantan Barat. Tanggap bencana ini dilakukan sejalan dengan deklarasi tanggap bencana yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah di Kalimantan Barat. Dalam waktu dua bulan, WVI bersama mitra dan masyarakat di Kabupaten Sekadau, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kubu Raya mengimplementasikan beberapa kegiatan untuk membantu mengurangi risiko kabut asap bagi anak-anak dan masyarakat.
Sebagai tindakan cepat-tanggap dan preventif, WVI mendistribusikan masker anak dan dewasa di PAUD, sekolah, dan desa. Penggunaan masker yang tepat dapat membantu mengurangi risiko anak dan masyarakat terkena ISPA.
Bermitra dengan pemerintah di kelima kabupaten dampingan tersebut, WVI juga memfasilitasi workshop mengenai aksi antisipatif agar dampak dari karhutla yang menjadi risiko bagi anak dan masyarakat di Kalimantan Barat dapat terkelola dengan baik. Apalagi karena situasi ini bukan hanya sekali-dua kali terjadi di Kalimantan.
WVI juga melakukan sosialisasi mengenai bahaya kabut asap kepada anak-anak yang berada di desa dampingan. Pada kegiatan ini anak-anak mendapat wawasan tentang bahaya kabut asap bagi kesehatan dan hal-hal apa saja yang perlu dilakukan bila kabut asap terjadi. Sebagai kelompok yang paling rentan, anak-anak harus dibekali dengan wawasan yang tepat mengenai bencana ini. Selain itu, anak-anak juga dapat menjadi agen perubahan yang menyuarakan tentang pentingnya menangani akar masalah kabut asap di Kalimantan.
“Tidak mau ikut mamak bakar ladang lagi. Nanti batuk-batuk. Mainnya nanti di rumah saja, biar ga kena asap,” ujar Brian, salah satu murid PAUD di desa dampingan WVI di Melawi. Walaupun saat ini orang tua Brian masih tidak memiliki cara lain untuk membuka lahan, namun setidaknya orang tua Brian juga menyadari bahaya kabut asap bagi kesehatan anaknya. Selama ini, banyak orang tua turut membawa anaknya ke area pembakaran hutan karena tidak ada keluarga lain yang bisa mengasuh anak tersebut di rumah. Akhirnya, anak pun harus terus-menerus menghirup udara yang kotor. Terlebih lagi, keamanan anak pun terancam karena berdekatan dengan area hutan yang dibakar.
Dari sosialisasi ini, beberapa ibu juga berkomitmen untuk tidak lagi mengajak anaknya saat membuka lahan. Para ibu akan mengusahakan agar anak-anak dapat tetap tinggal di rumah, baik diasuh oleh salah satu orang tuanya maupun oleh pengasuh lainnya.
Pada tahun-tahun ke depan, perubahan iklim akan semakin besar dampaknya dalam kehidupan setiap kita. Terlebih di daerah-daerah di Indonesia yang rawan akan kebakaran hutan dan kekeringan. Oleh karena itu, setiap pihak baik itu masyarakat, pemerintah, tokoh agama ataupun tokoh adat, sebaiknya saling bekerja sama untuk menyusun rencana antisipatif. Kesiapsiagaan dan kemampuan adaptasi akan sangat melindungi anak-anak, penyandang disabilitas, lansia, dan setiap orang dari dampak bencana.
Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)