Perempuan Pegunungan yang Berhasil Mempercepat Kemajuan
Sejak kecil, seorang anak perempuan sudah tidak memiliki akses atas hak-haknya. Masa depan seorang anak perempuan sudah ada pakemnya. Apalagi bila anak tersebut tinggal di desa-desa terjauh yang kental dengan dominasi laki-laki. Hanya ada satu gambaran masa depan bagi anak-anak perempuan ini yaitu, menikah, menjadi seorang istri lalu menjadi seorang ibu. Tugasnya kebanyakan di rumah, terutama area dapur. Ketika orang tua memiliki keterbatasan dana, mereka cenderung memilih membiayai pendidikan anak laki-laki karena dirasa akan memberi lebih banyak keuntungan bagi keluarga. Anak perempuan dirasa tidak perlu sekolah karena apalah guna gelar sarjana ketika sehari-harinya nanti hanya bertugas di rumah saja.
Ketidaksetaraan gender belum jadi isu yang sudah berlalu. Hal ini masih kerap terjadi, baik di Indonesia maupun negara lain. Namun, pergeseran pun terjadi terutama ketika bermunculan perempuan-perempuan yang berdaya. Salah satunya adalah seorang mantan wakil anak WVI di Papua yang saat ini dikenal sebagai perempuan Lanny Jaya pertama yang meraih gelar doktor.
“Bapa-Mama saya selalu mendorong saya dan adik-adik saya yang perempuan juga untuk sekolah setinggi-tingginya. Dulu itu suatu hari, pagi-pagi sekali Bapa saya bilang, kamu harus pergi sekolah. Bapa mau sebelum Bapa pensiun kamu harus jadi doktor,” cerita Suryani. Dan dalam perjalanan Suryani mengejar pendidikan sampai tingkat tertinggi, WVI turut memberi andil.
Tahun 1995, WVI (saat itu masih bernama World Vision Indonesia) mengimplementasikan Girl Child Project di salah satu Gereja yang berada di Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Proyek ini bertujuan untuk membuka akses dan meningkatkan partisipasi anak-anak perempuan di Gereja tersebut. “Saya masih kelas lima SD saat WVI masuk ke Gereja kami. Waktu itu memang hanya anak perempuan saja yang didata. Dari WVI saya dan adik mendapat bantuan seragam, buku, dan tas sekolah. Ini sudah sangat membantu mengurangi beban orang tua untuk menyekolahkan kami,” tuturnya. Pemberian barang-barang keperluan sekolah ini juga menjadi pemantik agar setiap orang tua di desa tersebut mulai sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.
“Jadi perempuan gunung itu susah. Pasti orang tua akan pilih kasih sekolah anak atau tidak. Kalaupun sekolah untuk apa, toh susahnya urus dapur. Jadi lebih baik kasih sekolah laki-laki. Dan saya bersyukur saat itu, adanya WVI juga orang tua saya yang berpikir berbeda, bisa membuat saya jadi seperti sekarang. Karena pada masa itu, orang gunung itu tidak mungkin punya pemikiran begitu untuk anak perempuannya,” ungkap Suryani.
Melalui perannya saat ini sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Lanny Jaya, Suryani menjadikan dirinya sebagai contoh akan pentingnya menginvestasikan banyak hal pada perempuan. Ia membuktikan bahwa ketika orang tua mengupayakan yang terbaik pada seorang anak perempuan, maka di kemudian hari ia akan memberikan kontribusi signifikan bagi lingkungan sekitarnya.
“Saya di kantor suka ketemu dengan mama-mama yang ingin urus izin, lalu di situ saya suka cerita kalau dulu saya sekolah itu juga susah. Bisa dibilang saya ini bisa jadi Doktor karena hasil jualan pinang di rumah. Jadi sekarang saya kuatkan mama-mama itu, harus punya tanggung jawab yang penuh dan seimbang untuk anak-anak yang sudah dititipkan Tuhan. Tuhan sudah atur masa depan setiap anak, orang tua hanya perlu mendorong supaya anak-anak bisa terus punya semangat,” ujarnya.
Suryani juga membagikan pengalaman hidupnya dalam kelompok perempuan di Gereja dan kelompok mahasiswa. Ia memotivasi perempuan lain agar terus memiliki harapan dan mengejarnya sampai dapat. Sebagai seorang perempuan, apalagi perempuan Papua yang tinggal di pegunungan, sering merasa tidak percaya pada potensi sendiri. Padahal sebenarnya setiap perempuan, anak atau dewasa, itu mampu. Oleh karena itu menjadi tugas orang tua dan perempuan-perempuan seperti Suryani untuk memberi dorongan. “Orang tua harus punya nyali untuk mendorong setiap anak perempuan walau hidup dalam kesederhanaan,” pesan Suryani.
Angelina Theodora, direktur nasional WVI juga memiliki perhatian besar akan akses dan partisipasi anak perempuan di seluruh Indonesia. Kisah Suryani yang saat ini telah menjadi contoh bagi anak perempuan lainnya agar terus mengejar mimpi dan harapan, serta bagi setiap orang tua agar percaya bahwa anak perempuan pun dapat mengubah masa depan banyak orang. “Hingga saat ini, masih banyak anak dan remaja perempuan yang belum mendapatkan kesempatan setara dalam pendidikan karena berbagai alasan termasuk keterbatasan ekonomi keluarga, perkawinan anak, jauhnya lokasi fasilitas pendidikan, praktik sosial budaya hingga isu disabilitas, dan anak berkebutuhan khusus. Kesetaraan gender bagi setiap anak perempuan dan laki-laki untuk mengakses dan berpartisipasi dalam pendidikan berkualitas selaras dengan visi WVI yaitu, kehidupan utuh sepenuhnya bagi setiap anak. Upaya untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang setara juga berkontribusi dalam mengoptimalkan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045, dan pembangunan berkelanjutan bagi seluruh bangsa Indonesia,” ungkap Angelina.
Langkah kecil WVI pada tahun 1995 melalui Girl Child Project yang bertautan dengan dukungan dari para orang tua anak-anak sponsor saat itu, telah berhasil mencetak seorang agen perubahan. Suryani kini menjadi bukti nyata bahwa melibatkan perempuan bukan kerugian. Malah sebaliknya, menanamkan investasi pada perempuan dapat mempercepat kemajuan.
Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)