Tangan-tangan yang tak Pernah Lelah

Tangan-tangan yang tak Pernah Lelah

Berkunjung ke Nusa Tenggara Timur (NTT), cobalah mampir sejenak ke pulau Alor. Keindahan alam pulau di ujung timur laut NTT ini sudah tidak diragukan lagi. Laut dan langitnya yang biru, membuat siapa pun bisa terlena dengan keindahannya. Tak hanya alam, pulau Alor memiliki segudang cerita keindahan budaya, termasuk hasil karya tenun ikat Alor yang sudah dikenal mendunia.

Kabupaten Alor memang terkenal dengan tenun ikatnya yang memikat mata, berwarna-warni. Berkunjung melihat proses pembuatan tenun ikat Alor bahkan menjadi obyek wisata di Kabupaten Alor. Wilayah Ternate Selatan di Kecamatan Alor Barat Laut adalah salah satu pulau yang masyarakatnya berpenghasilan dari bertenun dan berlayar. Dari tangan-tangan cekatan para perempuan (biasa disebut: Mama) di pulau ini, terciptalah ratusan tenun ikat Alor setiap bulannya.

Wahana Visi Indonesia (WVI) melalui proyek Tenun Alor, yang didanai oleh Kedutaan Selandia Baru, turut hadir mendampingi sembilan puluh perempuan penenun di wilayah Ternate Selatan. Pemberdayaan ekonomi dilakukan selama satu tahun lamanya, tepat saat pandemi Covid-19 sedang merajalela di negara ini. Mereka didampingi, diberikan pelatihan dan diajak untuk berkontribusi bagi perekonomian keluarga.

Tiga kelompok tenun dari tiga kampung berhasil dibentuk melalui proyek Tenun Alor. Mama Tirsa (47), salah satu ketua kelompok tenun mengatakan, perempuan kelompok penenun mendapatkan berbagai manfaat dari pendampingan WVI selama ini, terutama dalam hal teknik menenun.

“Teknik menenun dahulu berbeda dengan yang diajarkan WVI. Teknik pukulan tenun pun berbeda, dahulu tidak kuat. Setelah WVI bantu kita, ada perubahan, karena kain itu sekarang hasilnya jadi lebar dan tinggi. Jadi kalau kita pegang (tenun) agak berat sedikit,” ujar Tirsa.

Tirsa turut bercerita bahwa sejak pendampingan oleh proyek Tenun Alor, para penenun semakin mudah mendapatkan benang. Padahal, dahulu mereka harus menyeberangi lautan menuju ibu kota untuk membeli benang berkualitas bagus dan pewarna.

Melalui program bantuan nontunai (cash voucher program), WVI memberikan kesempatan kepada sembilan puluh orang penenun untuk mendapatkan sejumlah benang, sebagai modal mereka untuk menghasilkan tenun yang lebih baik lagi. WVI juga melakukan kerja sama dengan vendor dan badan usaha milik desa (BUMDes) untuk menghadirkan benang di wilayah Ternate Selatan.

Mama Lindeman, salah satu vendor penjual benang membenarkan hal tersebut. Dijelaskannya, setiap orang bisa mendapatkan sejumlah benang dan pewarna. Meskipun Mama Lindeman telah menjual benang sebelum ada proyek ini, dirinya mengaku memang memiliki niat membantu para penenun di wilayahnya, sehingga tidak sulit baginya untuk menerima tawaran sebagai vendor oleh WVI.   

Selain itu, berkat kemudahan yang diberikan WVI, aktivitas menenun pun semakin digemari oleh para perempuan muda. Henderina (30) misalnya, yang sudah mulai menenun sejak usia 24. Meski sudah tahu cara menenun sejak beberapa tahun lalu, dirinya mengaku mulai semangat menenun sejak proyek Tenun Alor masuk memberikan pengajaran dan pendampingan.  

Tak hanya terkait tenun dan tekniknya, ditambahkan Henderina, penenun di bawah dampingan WVI juga mendapatkan berbagai pengetahuan baru. Henderina ingat betul hal pertama yang diajarkan WVI kepadanya.

“Pertama kali kami dilatih untuk menghitung uang, selanjutnya kami diajarkan tentang perbedaan gender. Setelah itu kami dilatih lagi industri tenun oleh dua fasilitator. Lalu kami diajarkan cara menenun, cara pencelupan benang, mengikat motif. Lalu baru kami menerima voucer benang dan kami mulai bekerja,” ungkap Henderina.

Diakuinya hasil tenun yang dihasilkan para penenun di Ternate Selatan kini berangsur membaik. Menurutnya, dengan teknik tenun terkini, warna tenun menjadi tidak mudah luntur dan hasil tenun menjadi lebih rapat.

Selain itu, Henderina mengaku senang dengan pendampingan ini karena selain penenun, anak-anak di wilayah Ternate Selatan juga mendapatkan manfaat dari proyek ini. Berkat proyek ini, sekolah dasar di Ternate Selatan sudah mulai memasukkan kurikulum menenun, sehingga setiap anak diingatkan untuk terus memelihara budaya Alor melalui pembuatan tenun ikat.

Berdaya lewat Teknik Pemasaran Terkini

Pemasukan para penenun di Ternate Selatan tidaklah masif. Dahulu, mereka hanya akan membuat tenun jika ada pesanan. Pesanan itupun datangnya hanya dari kerabat di seberang pulau. Pemasaran kata dari mulut ke mulut (Word-of-Mouth Marketing), begitu teknik ini biasa dikenal.

Ada juga penenun di satu kampung yang menjajakan hasil tenunnya dengan berjualan dari rumah ke rumah, menyeberangi lautan menuju ibu kota ataupun mengitari wilayah pegunungan. Biasanya mereka berjalan berkelompok hingga lima orang dan membawa setidaknya sepuluh kain tenun.

Pantang pulang sebelum laku adalah moto mereka. Alhasil, para penenun yang adalah para perempuan ini harus meninggalkan rumah hingga seminggu lamanya.

WVI melihat keresahan ini. Melalui proyek Tenun Alor, para penenun diajarkan untuk menambah teknik pemasaran mereka. Tidak hanya menerima pesanan atau berjualan dengan lelah, tetapi juga menjajakannya lewat media sosial melalui teknik pemasaran digital.

Anceneri (30), adalah salah satu penenun dan pelaku pemasaran digital. Dirinya mengaku sebelumnya tidak mengerti cara menjual barang secara daring. Ia pun bahkan tidak pernah menyangka bahwa pemasaran digital bisa membantu meningkatkan pendapatan para penenun di Ternate Selatan.

“Di proyek ini kami belajar cara berjualan secara online melalui berbagai media seperti Whatsapp, Facebook, dan Instagram. Kami juga diajarkan cara mengambil gambar, menyusun kalimat penjualan, cara bernegosiasi dengan pembeli dan bahkan berjualan secara live,” jelas Anceneri.

Anceneri bersemangat untuk melakukan teknik pemasaran baru ini, meskipun dirinya mengaku masih membutuhkan keterampilan dalam hal menjual secara live dan mengemas barang ke luar daerah.  

Ditemui di tempat berbeda, Nonce Rudianakala (41), selaku Fungsional Swadaya Masyarakat Dinas Perindustrian Kabupaten Alor mengatakan pemasaran tenun ikat Alor memang terbilang masih konvensional. Meski begitu, tenun ikat Alor sudah dikenal secara nasional bahkan internasional.

“Tenun Alor ini sudah mulai dikenal mulai tahun 2005 … Di Alor sendiri biasanya diadakan Expo Alor sebagai ajang promosi, dan setiap stand pasti menampilkan tenun Alor, sehingga untuk proses promosinya sangat pesat,” ujar Nonce.

Nonce mengungkapkan, sejak pandemi Covid-19 terjadi, banyak para penenun yang membawa hasil tenun mereka ke Dinas Pariwisata. Hasil tenun yang melimpah tetapi tidak laku dijual akibat pandemi, membuat para penenun kewalahan mendapatkan pemasukan. Mereka bahkan rela menjual tenun dengan harga yang sangat murah tidak seperti harga sebelum pandemi terjadi.

“Kami bantu mereka untuk melakukan promosi lewat media sosial, serta bekerja sama dengan beberapa pihak seperti Dekranasda, serta beberapa art shop, karena mereka betul-betul butuh untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” tambahnya.

Kabid Kerja sama Usaha Industri Dinas Perindustrian Kabupaten Alor Imanuel Maitia (48) saat ditemui WVI mengatakan, pihaknya akan terus mendampingi para penenun di Alor, mencakup penenun di wilayah Ternate Selatan.

“Rencana ke depan, pembinaan menjadi fokus kami di Dinas Perindustrian. Pembinaan tetap berjalan terus. Setelah pembinaan akan ada proses produksi dari kelompok (tenun) dan pasti akan ditindaklanjuti dari dinas terkait misalnya mengikutkan mereka kepada event-event yang bisa mempromosikan karya mereka baik event di lokal ataupun secara nasional,” pungkasnya.

Ditulis oleh: Putri ianne Barus, Communications Officer Wahana Visi Indonesia


Artikel Terkait