Hasan, Disabilitas Tidak Menghalangi Keberhasilan

Hasan, Disabilitas Tidak Menghalangi Keberhasilan

Terlahir berbeda, dengan hambatan mobilitas, tidak menghalangi Hasan untuk berkarya dan meraih impian. Semenjak remaja hingga sekarang, dia selalu berupaya untuk menjadi manusia mandiri. Pemuda asal Kabupaten Poso ini bahkan pernah bekerja sebagai tukang ojek motor di kota, sebelum menikah. Saat ini, bukan hanya bertani untuk dirinya sendiri, Hasan juga mendorong kawan-kawan sesama disabilitas untuk berkelompok, belajar bertani dengan teknik-teknik yang benar, serta mengelola lahan bersama.

Memberdayakan petani dengan disabilitas bukan hal mudah. Banyak orang dengan disabilitas yang memiliki hambatan komunikasi. Untuk mencapai kesepakatan bahwa besok akan bekerja bersama di kebun, seperti menanam, memangkas rumput atau daun kering, menyemprot hama, dan sebagainya memiliki kesulitan tersendiri. Hari sebelum aktivitas dilakukan, Hasan harus mengumpulkan kelompok petani yang ia dampingi. Bidan Desa adalah salah satu orang yang membantunya menjembatani komunikasi dengan kawan-kawan disabilitas yang lain. Menyamakan suara, mengajak 20 orang anggota kelompok taninya ini menjadi tantangan. Bekerja sama dengan orang yang mereka percaya adalah cara yang dilakukan Hasan untuk mencapai kesepakatan tersebut.

Hasan bersemangat dan berani mengajak warga untuk bertanam jagung karena pengalaman pribadi yang dimilikinya. "Saya menanam jagung sejak tahun 2005. Waktu harga jagung sekilo masih 500 rupiah. Semangat sempat turun memang, karena hasil terakhir jagung hanya 600 kilo dalam satu hektar. Mau dapat apa say adengan hasil itu? Yang ada berhutang lagi kalau mau tanam," paparnya menceritakan masa lalu. Yang membuat laki-laki yang karib dipanggil Bapa Nadia ini kembali bersemangat adalah karena hasil jagung yang belakangan meningkat. Hasan mengganti benih yang digunakan dengan benih hibrida berkualitas sehingga panen jagungnya meningkat pesan, bahkan sampai 10 ton.

Dengan hasil sebesar itu, Hasan bukan hanya bisa membayar hutang yang dimilikinya, tetapi juga mewujudkan impian untuk membangun rumah yang layak bagi keluarga kecilnya. Bagi Hasa, memiliki rumah ini sekalin penting sebagai tempat berteduh, tetapi juga pembuktian pada banyak orang. Sebagai orang dengan disabilitas, dia merasa sering dipertanyakan oleh orang banyak tentang kemandiriannya. Dia sangat ingin mematahkan pandangan orang bahwa kondisi disabilitas seseorang akan menyebabkan mereka menjadi bergantung sepenuhnya pada orang lain.

Selain bertani, Hasan juga memiliki dan mengelola kios miliknya yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah. Kios yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari rumah tangga, juga menyediakan keperluan pertanian. Benih, pupuk, racun hama, dan sebagainya. Kios ini dikelolanya bersama sang istri. Istri dan anaknya menghabiskan lebih banyak waktu di kios sementara Hasan dan kawan-kawannya berkebun. Di sore hari, dia akan menjemput anak dan istrinya di kios, untuk pulang bersama.

"Selain rumah, impian saya juga untuk membesarkan kios dan mendirikan rumah ibadah kecil-kecilan," Hasan menyampaikan impiannya yang lain. Kiosnya saat ini memiliki kisah menarik. Awalnya, Hasan adalah salah satu pemakai benih milik PT Syngenta. Keberhasilannya menanam benih ini cukup menginspirasi banyak petani lain untuk kembali "berani" bertani jagung. Setelah sekian lama memakai benih lokal yang dirasa kurang menguntungkan, berbondong-bondong orang kembali bertanam jagung.

Pengalaman baru dalam bertani jagung ini Hasan peroleh setelah Wahana Visi Indonesia (WVI) melakukan implementasi proyek INCLUSION di desanya. INCLUSION merupakan program yang bertujuan untuk membuka akses pasar bagi para petani dengan mengedepankan inklusivitas dan membangun kemitraan. Oleh karena itu, ada sektor usaha yang terlibat dalam proyek ini seperti PT Syngenta. 

Dengan meningkatkan kebutuhan benih jagung yang ada di desa tempat Hasan tinggal, PT Syngenta kemudian mempercayakan penjualan benihnya pada Hasan. Hal ini juga menjadi salah satu kebanggan Hasan. Diantara banyak petani lain yang non disabilitas, PT Syngenta justru memilihnya. "Saya senang karena dengan WVI dan Syngenta ini, kita tidak hanya bicara bisnis atau pertanian saja. Ada kemanusiaan di dalamnya. Saya yakin, saya dipilih bukan karena dikasihani. Saya juga berusaha menunjukkan tanggung jawab sampai bisa dipercaya seperti ini," kata Hasan dengan bangga.

Hasan benar, berapa banyak orang yang mendapat kepercayaan permodalan sebesar itu dari pihak yang benar-benar dari orang yang awalnya tidak dikenal. Sekali lagi Hasan membuktikan bahwa keberhasilan dan kepercayaan tidak bisa didasarkan pada fisik semata. Setelah berproses selama kurang lebih dua tahun, beberapa orang anggota kelompok petani dengan disabilitas di desanya mulai mendapat kepercayaan dari keluarga untuk mengelola tanah.

Selama ini pengelolaan tanah di dalam keluarga sering kali hanya diserahkan pada anak-anak yang non disabilitas. Orang dengan disabilitas dianggap tidak mampu mengerjakan kebun. Jika hal ini terus berlangsung maka secara tidak sadar sebetulnya masyarakat sendiri yang menciptakan kondisi disabilitas yang tidak mandiri. Dengan pendampingan yang diberikan oleh WVI selama ini, bekal keterampilan bercocok tanam, terutama komoditas jagung, bukan hanya meningkatkan hasil pertanian, juga menguatkan kemandirian para petani disabilitas di Kabupaten Poso.

 

 

Penulis: Dian Purnomo (Penulis dan peneliti, konsultan proyek INCLUSION) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait