Literasi dan Fasilitas Masih Menjadi Penghambat Pelayanan Posyandu
Pelayanan posyandu di sejumlah daerah masih berkutat pada tingkat literasi masyarakat, sumber daya manusia, dan sarana-prasarana yang belum memadai. Hal-hal ini menghambat pelayanan posyandu yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan anak di masyarakat.
Keluhan-keluhan ini disampaikan sejumlah kader posyandu di daerah saat webinar ”Pemantauan Balita di Posyandu” yang diadakan Kementerian Kesehatan dan Wahana Visi Indonesia, Jumat (5/5/2023).
Misalnya, Ratnawati, kader posyandu di Desa Tanjung Paoh, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, yang mengeluhkan pemahaman masyarakat tentang imunisasi masih rendah. Menurut Ratnawati, banyak masyarakat enggan ke posyandu karena stigma efek samping sakit demam yang dialami anak usai imunisasi.
”Hal ini membuat tingkat partisipasi ibu ke posyandu rendah. Namun, kami terus melakukan penyuluhan agar mereka paham tentang imunisasi,” kata Ratnawati.
Keluhan lain juga diungkapkan Dilga Albakut, kader posyandu di salah satu desa di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Menurut Dilga, keterbatasan gedung posyandu yang permanen kerap membuat mereka harus berganti-ganti lokasi. Bahkan, tidak jarang mereka harus meminjam rumah warga setempat.
Sementara itu, Riokasad Aploegi, staf puskesmas di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, mengatakan, kualitas SDM turut mempengaruhi kinerja posyandu. Saat ini mayoritas kader posyandu di daerahnya berada pada usia lanjut yang kesulitan saat menggunakan aplikasi pemantauan anak balita.
”Banyak kader kami sudah sangat tua dan kesulitan mengoperasikan smartphone (ponsel pintar). Di sisi lain, akses internet juga di sini susah,” ujar Riokasad.
Di sisi lain, keluhan terkait sarana-prasarana juga diungkapkan Maria Irensia Anggo, ibu dari Ende, NTT. Maria merupakan salah satu ibu yang rutin memeriksakan anak ke posyandu. Namun, sering kali posyandu di desanya kekurangan tenaga kesehatan dan obat-obatan.
Dengan demikian, dia harus ke puskesmas kecamatan, bahkan hingga ke pelayanan kesehatan di pusat kota. ”Jarak dari desa ke kota cukup jauh, harus ditempuh dalam dua jam. Jadi hal ini juga yang memengaruhi saya dan ibu lainnya (enggan) memeriksakan anaknya,” kata Maria.
Partisipasi rendah
Berbagai kendala yang masih banyak ditemukan di daerah-daerah membuat partisipasi orangtua ke posyandu rendah. Hal ini pun menyebabkan literasi orangtua tentang kesehatan anak juga anjlok. Orangtua kehilangan kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi dan sosialisasi dari kader posyandu terkait kesehatan anak.
Berdasarkan studi pendampingan ibu tahun 2018 dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, pengetahuan ibu tentang tanda bahaya bayi pada sejumlah penyakit berada pada angka di bawah 40 persen. Misalnya pengetahuan ibu tentang tanda bahaya sakit demam hanya 38,4 persen, tidak mau menyusu (23,6 persen), kejang-kejang (18,3 persen), diare (9,9 persen), dan sesak napas (6,8 persen).
Menurut Ario Baskoro dari Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu Anak (KIA) Kemenkes, partisipasi orangtua masih rendah. Jika merujuk Riset Kesehatan Dasar 2018, persentase ibu dengan kepemilikan buku KIA sebagai bukti pernah melakukan pemeriksaan di fasilitas kesehatan berada pada angka 65,9 persen. ”Tenaga kesehatan khususnya di daerah terus dilatih untuk optimalisasi penggunaan buku KIA di tingkat keluarga sebagai alat untuk informasi dan edukasi kesehatan sehingga literasi keluarga bisa menyeluruh,” kata Ario.
Di sisi lain, Ketua Tim Kerja Pengelolaan Posyandu Bidang Kesehatan Kemenkes Ni Made Diah Permata mengungkapkan, kelurahan dan desa perlu berperan aktif dalam pemberdayaan posyandu. Jika merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 dan Permendagri Nomor 130 Tahun 2018, APBDesa dan dana kelurahan bisa digunakan.
”Karena ini merupakan lembaga pemasyarakatan sehingga pembiayaan utama berasal dari desa itu sendiri. Tenaga posyandu perlu aktif mengikuti musrembang (musyawarah rencana pembangunan) di desa,” ujar Diah.