Perjuangan Anak-anak Asmat Mengenyam Pendidikan dengan Perut Lapar
Di tengah hamparan hutan bakau dan sungai-sungai yang membentang, Kabupaten Asmat, Papua, menyimpan cerita tentang perjuangan anak-anak yang tak kenal lelah menimba ilmu di sekolah.
Meski tinggal di wilayah terpencil, semangat anak-anak di wilayah ini untuk pergi ke sekolah setiap pagi begitu besar. Sejak pukul 07.00 WIT, anak-anak Asmat menuju sekolah dengan berjalan kaki.
Namun, ada satu kenyataan pahit yang dihadapi. Bahwa anak-anak ini berangkat sekolah tanpa sarapan. Anak-anak di Asmat mengikuti kegiatan belajar mengajar dalam keadaan perut kosong.
Yohanes (8), misalnya, mengaku tidak pernah sarapan sebelum berangkat sekolah karena tidak ada makanan di rumah. Biasanya, Yohanes akan mengonsumsi sagu pada jam istirahat sekolah sekitar pukul 10.00 WIT.
“Saya tidak sarapan, saya makan sagu saat jam istirahat sekolah,” ujar Yohanes kepada Kompas.com, Kamis (1/8/2024).
Siswa lainnya, Trifona (8), juga mengatakan hal serupa. Ia jarang sarapan karena tidak ada makanan yang bisa dikonsumsi pada pagi hari. Trifona biasanya baru makan setelah pulang sekolah, itu pun jika ada makanan di rumahnya. Jika tidak, Trifona hanya bisa menahan rasa lapar hingga malam hari.
“Saya tidak sarapan, karena tidak ada yang bisa dimakan,” ujarnya. Kabupaten Asmat, seperti banyak wilayah terpencil lainnya di Indonesia, menghadapi kendala ekonomi yang signifikan. Mayoritas penduduknya adalah nelayan yang penghasilannya tidak menentu. Akses terhadap bahan pangan juga terbatas mengingat lokasi kampung yang sulit dijangkau.
Fasilitator di area wilayah Kabupaten Asmat dari Wahana Visi Indonesia, Maksy Azrul, mengatakan bahwa banyak anak di wilayah tersebut tidak makan tiga kali sehari.
"Di lokasi kita bisa lihat, dari fisik anak kita tidak yakin anak ini makan tiga kali sehari. Sarapan itu di jam 11.00 WIT-12.00 WIT dan tunggu jam istirahat dulu baru pulang ke rumah untuk makan,” ucap Maksy kepada Kompas.com.
Saat jam istirahat tiba, anak-anak sering kali pulang ke rumah untuk makan. Namun, sebagian tetap tinggal di sekolah karena tidak ada makanan di rumah.
“Kita lihat anak-anak betul dia pulang makan, tetapi tidak sedikit mereka yang tidak pulang ke rumah dan hanya diam di sekolah saja, itu berarti mereka tidak bisa makan pagi menunggu siang,” ujarnya. Padahal, kata Maksy, sarapan berdampak langsung terhadap kemampuan anak-anak menerima pelajaran di sekolah.
Konsentrasi yang menurun karena rasa lapar menjadi penghalang anak-anak untuk meraih prestasi akademik. “Kita bisa lihat anak makan atau tidak itu saat anaknya bermain. Kalau hanya duduk, lemas, tidak tahu mau aktivitas apa, kadang kita tanya ‘Kau kenapa? Kenapa kau tidak mau ikut bermain dengan teman-teman?’. Jawabannya, ‘Lapar’. 'Kenapa lapar? Tidak makan di rumah?' Jawabannya, ‘Iya, tidak makan di rumah’,” ungkap Maksy.
Jika terus dibiarkan, kebiasaan makan satu kali sehari atau tidak sarapan sebelum sekolah bisa menyebabkan anak-anak di Kabupaten Asmat kekurangan gizi.
Dengan demikian, semakin sulit untuk meningkatkan pemenuhan gizi anak-anak di Kabupaten Asmat karena masalah kekurangan gizi di wilayah ini sudah berlangsung sejak lama.
Pemerintah setempat dan organisasi non-pemerintah pun terus berupaya membantu mengatasi masalah ini. Salah satunya, Wahana Visi Indonesia (WVI) sebagai organisasi kemanusiaan fokus anak bersama dengan kemitraan World Vision yang meluncurkan kampanye "Enough".
Kampanye ini hadir untuk mengatasi isu malnutrisi anak-anak di Indonesia. Bahwa setiap anak harus menikmati makanan bergizi yang cukup untuk tumbuh kembang mereka.
Kampanye "Enough" diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh anak-anak dampingan WVI (Child-led Research) sejak Desember 2023 hingga Juni 2024 bertema “Situasi Remaja Terkait Gizi, Kesehatan, dan Perkawinan Anak”. Responden penelitian ini berjumlah 6.969 anak dari 34 provinsi di Indonesia, dari Aceh hingga Papua Selatan.
Dari penelitian itu ditemukan bahwa sebanyak 44 persen anak tidak makan malam, 32 persen anak tidak sarapan sebelum ke sekolah, dan 18 persen anak pernah merasa lapar tapi makanan di rumah habis.
Penelitian dilakukan oleh 60 anak perempuan dan 33 anak laki-laki dari 11 provinsi dan 28 kabupaten/kota, rentang usia 12-17 tahun. Mereka tergabung dalam Tim Peneliti Anak Nasional.
Adapun Wahana Visi Indonesia bersama dengan 60 kemitraan World Vision Internasional melakukan Kampanye Global “Enough” yang fokus untuk mengatasi kelaparan global. Di Indonesia, Kampanye "Enough" berfokus pada malnutrisi dan peningkatan gizi anak. Kampanye "Enough" memiliki visi “Bersama Tingkatkan Gizi Anak Indonesia.”
Anda bisa ikut bergabung untuk memperjuangkan tercukupinya gizi semua anak Indonesia dengan berdonasi melalui Wahana Visi Indonesia dengan klik tautan Kampanye ENOUGH | Wahana Visi Indonesia. Bukan hanya di Asmat, pemenuhan gizi seluruh anak Indonesia begitu penting agar mereka bisa mewujudkan mimpi-mimpi besar.
Sumber: Perjuangan Anak-anak Asmat Mengenyam Pendidikan dengan Perut Lapar... (kompas.com)