Dari Tapal Batas Negeri, Masyarakat Dayak Berjuang Lindungi Anak Lewat Peraturan Adat

Dari Tapal Batas Negeri, Masyarakat Dayak Berjuang Lindungi Anak Lewat Peraturan Adat

Di penghujung hari Senin (28/8/2023), lebih dari 1.000 kilometer dari Jakarta, beberapa anak dengan riang gembira bermain dan berlarian di kawasan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk. Sinar matahari sore yang semakin temaram, menemani mereka menikmati dunianya.

Terletak di Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, PLBN Aruk merupakan salah satu gerbang antara Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan Barat. Kawasan tersebut diperbaiki dan dibangun pada 2017 sebagai bentuk kehadiran negara di tapal batas negeri.

Di balik PLBN Aruk, tersimpan cerita kerentanan anak di Sajingan Besar, salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan “Negeri Jiran”.

Pada periode 2018 hingga 2021, ada tiga laporan kasus kekerasan seksual diterima oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kabupaten Sambas.

Jumlah tersebut terbilang kecil bila dibandingkan total laporan kekerasan seksual se-Kabupaten Sambas pada periode yang sama yakni 125 kasus.

Di satu sisi, fenomena kekerasan anak di Sajingan Besar, termasuk Kabupaten Sambas secara keseluruhan, dimaknai sebagai fenomena gunung es yang perlu ditangani secara serius.

Camat Sajingan Besar Obertus menyampaikan, kasus kekerasan seksual terhadap anak pasti ada. Akan tetapi, banyak yang tidak melaporkan.

“(Kasus) kekerasan seksual normatif. Orang tidak banyak yang melaporkan. (Kasus-kasus) itu ada di masyarakat,” kata Obertus kepada wartawan di kawasan PLBN Aruk, Senin.

Kerentanan anak di sana tak lepas dari letak Kecamatan Sajingan Besar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Tingginya lalu lintas orang dan barang yang keluar-masuk turut berpengaruh terhadap kehidupan di sana, tak terkecuali anak-anak.

“Perlintasan orang dan barang itu ada dampak negatifnya. Belum lagi di perbatasan di kabupaten lain masih ada jalur tidak resmi. Pengaruh-pengaruh ini ada potensi ke anak-anak dan remaja di sini,” papar Obertus. Kecamatan Sajingan Besar memiliki lima desa di mana mayoritas penduduknya adalah suku Dayak, utamanya subsuku Dayak Salako dan Dayak Rara. Mereka sangat memegang teguh peraturan adat yang sakral dan secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang.

Berbekal warisan leluhur yang sakral tersebut, muncullah ide dari masyarakat Dayak untuk menuliskan peraturan adat yang tidak tertulis.

Pada 2021, setelah menjalani beberapa kali musyawarah adat yang cukup panjang disertai pendampingan oleh yayasan kemanusiaan Wahana Visi Indonesia (WVI), para tetua dan masyarakat Dayak menyepakati Peraturan Adat (Perdat) Kecamatan Sajingan Besar.

Perdat ini lantas menjadi dasar untuk perlindungan anak di level desa. Maka disusunlah peraturan desa (perdes) perlindungan anak berbasis perdat pada 2022 di lima desa di Kecamatan Sajingan Besar yakni Desa Kaliau, Desa Sebunga, Desa Santaban, Desa Sanatab, dan Desa Sungai Bening.

Warisan untuk generasi mendatang

Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sajingan Besar Libertus saat ditemui wartawan di rumahnya di Desa Sanatab, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Senin (28/8/2023).

Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sajingan Besar Libertus saat ditemui wartawan di rumahnya di Desa Sanatab, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Senin (28/8/2023). (KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU)

Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Sajingan Besar Libertus menyampaikan, perdat memuat berbagai macam aturan, termasuk perlindungan terhadap anak sekaligus hukuman adat terhadap pelaku.

Perdat Kecamatan Sajingan Besar memiliki 10 bab dengan puluhan pasal di setiap babnya. Bab dan pasal dalam perdat tersebut dijadikan dasar bagi lima desa dalam menyusun perdes perlindungan anak berbasis perdat termasuk hukumannya.

Dalam perdat, setiap manusia wajib menjaga keharmonisan dengan sesama dan alam mulai dari lahir sampai meninggal. Dan setiap orang Dayak terikat dengan peraturan tersebut. Peraturan adat juga mengatur sanksi adat mulai dari berkata kasar, perkelahian, mengeluarkan darah, sampai pembunuhan.

“Termasuk perlindungan anak, mulai dari lahir sudah dilindungi, sampai satu bulan, sampai sunat sampai, dewasa. Jadi tidak ada anak yang ditelantarkan,” kata purnawirawan TNI tersebut saat ditemui wartawan di rumahnya di Desa Sanatab, Kecamatan Sajingan Besar, Selasa.

Libertus menilai, meski ada banyak perubahan yang telah terjadi, masyarakat Dayak masih tetap teguh memegang adat istiadat mereka, termasuk peraturan adat.

Bagi masyarakat Dayak, menerima hukuman adat adalah sebuah aib yang besar. Pemberlakuan perdat secara kuat diharapkan dapat membantu menekan kasus, termasuk kekerasan terhadap anak.

Sementara itu, Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Sambas Boni menyampaikan, perdat yang dituliskan dan perdes perlindungan anak berbasis perdat tersebut merupakan bentuk pelestarian sekaligus warisan hukum adat terhadap generasi mendatang.

Semakin sepuhnya para tetua, beberapa bahkan sudah meninggal, menjadi alasan urgensinya penulisan perdat. Sekaligus menjadi pegangan dan rujukan bila ada kasus-kasus yang butuh penyelesaian secara adat.

Anak adalah masa depan

Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Sambas Boni saat bertemu dengan wartawan di Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, Selasa (29/8/2023).

Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Sambas Boni saat bertemu dengan wartawan di Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, Selasa (29/8/2023). (KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU)

Dalam peraturan adat, pelaku dapat dihukum memberikan ganti rugi kepada korban berupa tahil atau alat peraga dan hewan kurban. Lewat perdat yang tertulis, tahil dan hewan korban dikonversikan ke dalam rupiah.

Dia mencontohkan, apabila ada pelaku melakukan pelecehan seksual, dia disidang oleh dewan adat dan bisa diminta ganti rugi hingga Rp 50 juta yang sebagian besar diberikan kepada korban.

Hukuman adat tersebut dapat menjadi pengurangan hukuman yang dapat ditanggung pelaku ketika kasusnya diproses secara hukum di pengadilan.

Boni menuturkan, perdes perlindungan anak berbasis perdat dapat menjadi penguat bagi masyarakat Dayak untuk melindungi anak di level desa. Akan tetapi, dalam kasus kekerasan terhadap anak, Boni menilai hukum dan peraturan yang berlaku di negara tetap harus diberlakukan kepada pelaku.

“Aturan adat mungkin mereduksi tanggung jawab sosial, tetapi hukum positifnya tetap kena. Tidak ada ampun bagi kekerasan (terhadap) anak,” ucap Boni kepada wartawan, Selasa (29/8/2023).

Pria yang berprofesi sebagai dokter tersebut menyampaikan, bagi masyarakat Dayak, anak adalah aset masa depan yang harus terus dilindungi hingga dewasa.

“Kami memandang anak adalah aset, masa depan keluarga. Masa depan negara adalah anak. Jadi anak memang prioritas untuk kita lindungi,” ujar Boni.

Saat ini, kelima perdes perlindungan anak berbasis perdat tersebut masih menanti evaluasi Pemerintah Kabupaten Sambas setelah aturan itu diserahkan lebih dari tiga bulan lalu.

Pemandangan gerbang di kawasan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk, Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Senin (28/8/2023).
Pemandangan gerbang di kawasan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk, Desa Sebunga, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Senin (28/8/2023).(KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU)

Asisten I Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Sambas Sunaryo menyampaikan, perdes tersebut saat ini diverifikasi oleh bagian hukum.

“Kemarin ada kendala terkait perlindungan hukum, tapi mekanisme sudah berjalan,”ucap Sunaryo kepada wartawan di Kantor Bupati Sambas, Rabu (30/8/2023).

Dia menyampaikan, pemerintah kabupaten sangat mendukung inovasi aturan berbasis kearifan lokal dari pemerintah desa untuk melindungi anak.

 

 

https://lestari.kompas.com/read/2023/09/03/150000386/dari-tapal-batas-negeri-masyarakat-dayak-berjuang-lindungi-anak-lewat?page=all#page2
 


Related Articles