Kelaparan Berulang di Papua & Penanganan yang Tak Menyentuh Akar
Jika bicara soal kelaparan, kita jadi teringat W.S Rendra. Dalam sajak Doa Orang Lapar, Rendra menyebut kelaparan sebagai ‘burung gagak yang licik dan hitam.’ Berjuta-juta jumlahnya, ‘bagai awan yang hitam,’ tulis Rendra. Awan hitam tersebut, kini menggantung muram di langit Papua.
Ironisnya, kelaparan yang dituliskan Rendra sebagai metafora, adalah kepahitan yang ditelan masyarakat Papua dengan nyata. Kelaparan, masih menjadi momok yang belum usai di Bumi Cenderawasih.
Bencana kelaparan terjadi di Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, yang memakan korban jiwa enam warga. Sedikitnya 7.500 orang terdampak terkait petaka tersebut. Kejadian ini dipicu kekeringan selama dua bulan terakhir akibat cuaca ekstrem. Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi menjadi lokasi paling terdampak. Kekeringan yang disertai suhu dingin ekstrem, memicu berbagai tanaman warga mengalami gagal panen. Akibatnya, bencana kelaparan timbul atas tipisnya ketersediaan pangan masyarakat.
Kurang lebih begitulah pemerintah menjelaskan bencana kelaparan yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Puncak. Selain akibat cuaca ekstrem, faktor keamanan juga disebut menjadi biang kerok yang membuat bantuan pangan terhambat. Hal ini disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“(Persoalan) yang kedua, bantuan untuk makanan juga (menghadapi) problem di urusan keamanan. Pesawat tidak berani turun sehingga problem lagi,” kata Jokowi pada sesi keterangan pers seusai meresmikan Sodetan Ciliwung, di Jakarta, Senin (31/7/2023).
Faktor-faktor di atas bisa saja digunakan pemerintah untuk menjelaskan kejadian nahas yang merenggut nyawa enam orang – satu di antaranya anak-anak – akibat kelaparan di Kabupaten Puncak. Kendati demikian, insiden kelaparan hingga merenggut nyawa di Papua bukan kali ini saja terjadi. Hal ini mengundang pertanyaan soal keseriusan dalam mitigasi bencana kelaparan di Tanah Mutiara Hitam.
Kelaparan Berulang Memakan Korban
Pertanyaan tersebut jelas menggema di benak Juru Kampanye Hutan Papua Greenpeace Indonesia, Nicodemus Wamafma. Nico, sapaan akrabnya, mencatat setidaknya ada 15 kasus kelaparan yang terjadi tanah Papua sejak 1982, dari Jayawijaya hingga terkini insiden di Kabupaten Puncak.
Ia tidak sependapat jika faktor cuaca ekstrem menjadi satu-satunya alasan yang patut dipersoalkan. Menurut Nico, cuaca atau iklim tidak akan menyesuaikan kondisi manusia, sebaliknya justru manusia yang harus mampu beradaptasi dengan fenomena cuaca.
“Jika melihat fenomena ini, maka bagi saya persoalan sesungguhnya ada pada manusia yang menyusun sistem perencanaan pembangunan daerah yang harusnya berbasis mitigasi bencana sehingga kejadian seperti ini tidak perlu terjadi berulang-ulang,” kata Nico dihubungi reporter Tirto, Selasa (1/8/2023).
Keresahan Nico beralasan, sebab belum lama ini –pada Agustus 2022– bencana kelaparan juga terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Diketahui sedikitnya tiga orang meninggal dunia, satu orang kritis, sementara sekitar 500 orang kelaparan pada kejadian ini.
Tercatat juga kejadian kelaparan yang kala itu ramai menjadi sorotan pada Desember 2005 di Yahukimo. Kelaparan terjadi di 7 distrik dan 10 pos pemerintahan yang menyebabkan 55 orang meninggal dan 112 orang sakit parah. Sekitar 55.000 penduduk di 7 distrik tersebut kehabisan makanan. Kejadian serupa terjadi Kabupaten Puncak Jaya, medio Desember 2005 – Februari 2006. Kondisi kesehatan yang buruk disertai penurunan suhu ekstrem menyebabkan 15 orang meninggal.
Tidak bisa dilupakan pula Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat yang merenggut nyawa 72 anak pada 2018. Bila ingin ditarik lebih jauh lagi, bencana kelaparan di tanah Papua juga tercatat pada 1982 di Jayawijaya. Kala itu, dilaporkan korban meninggal mencapai 112 orang. Sementara itu, 367 orang mendapat perawatan, dan 3.000 orang lainnya kekurangan gizi.
Nico menegaskan, persoalan ini juga berkaitan pada sistem pangan masyarakat yang berubah imbas kebijakan tata kelola pangan lokal yang tidak berbasis kultur dan pola konsumsi masyarakat setempat yang berubah. Dampaknya jelas, kata Nico, stok bahan makanan mengalami pengurangan volume panen, serta jenis tanaman yang ditanam berkurang keanekaragamannya akibat adanya makanan instan.
“Akibatnya serbuan bahan makanan cepat saji seperti mie instan dan beras bagi masyarakat miskin (kebijakan raskin) tidak terelakan lagi sehingga kebun masyarakat/warga yang dahulu luas kini mengalami penyusutan,” jelas Nico.
Nico menegaskan, kebijakan industri pangan pemerintah berupa proyek food estate atau lumbung pangan di Papua, justru menjadi kebijakan pembangunan yang destruktif serta cenderung meminggirkan masyarakat adat Papua. Pemerintah, kata Nico, harusnya mengakui dan mendukung budaya pangan lokal sebagai ketahanan pangan.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Peuki. Ia mendorong pemerintah segera menangani krisis pangan di Papua dengan membantu penyediaan koperasi pangan lokal. Jika pemerintah tidak segera menyediakan solusi cepat, Maikel khawatir tragedi kelaparan bakal terus berulang.
“Mestinya, Presiden (Jokowi) sudah mengantisipasi soal dampak yang terjadi pada masyarakat adat Papua yang berada di lokasi rawan kekeringan ini,” ujar Maikel kepada reporter Tirto.
Maikel juga menilai perlu ada penguatan sumber pangan dari daerah lain untuk menjadi cadangan pangan lokal, bagi masyarakat adat Papua yang tinggal di wilayah rawan kekeringan.
“Karena masyarakat adat Papua yang berada di wilayah rawan kekeringan ini, mereka kebiasaannya berkebun, menanam, panen untuk mereka konsumsi sendiri, artinya hidup masyarakat adat Papua ini masih tergantung sama ketersediaan pangan lokal,” sambung Maikel.
Mitigasi Bencana Kelaparan Imbas Cuaca Ekstrem
General Manager Zone Papua Wahana Visi Indonesia (WVI), Sabtarina Dwi Febriyanti menilai, pemerintah seharusnya bisa melakukan mitigasi bencana kelaparan di daerah rawan kekeringan imbas cuaca ekstrem. Wahana Visi Indonesia merupakan lembaga kemanusiaan yang berfokus pada anak, terutama di wilayah Indonesia Timur, dan tanggap bencana merupakan salah satu program pendekatan mereka.
“Intervensi yang dilakukan pemerintah hingga saat ini lebih banyak bersifat reaktif, padahal seharusnya sudah terdapat perencanaan secara antisipatif dan strategi pencegahannya dapat ditentukan sejak jauh hari,” kata Sabtarina kepada reporter Tirto.
Pada bulan-bulan tertentu, kata Sabtarina, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah dapat memprediksi wilayah yang dilanda kekeringan dan kemarau. Sehingga pemerintah dapat melakukan tindakan antisipatif agar tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
“Hanya yang menjadi pertanyaan apakah informasi peringatan dini ini tersosialisasikan dan sampai kepada masyarakat maupun pemangku kepentingan yang terdampak di wilayah tersebut?” kata Sabtarina.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, A Fachri Radjab telah menyampaikan, cuaca ekstrem imbas fenomena El Nino tahun ini akan berdampak pada sejumlah wilayah. Fenomena itu telah mengakibatkan kemarau di 63 persen wilayah Indonesia, termasuk Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan.
“Diperkirakan musim kemarau ini akan lebih kering dibandingkan tiga tahun sebelumnya,” ucap Fachri dalam siaran Forum Medan Merdeka 9, Senin (31/7/2023).
Dihubungi terpisah, peneliti utama pada Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas menilai, intervensi pemerintah dalam penanganan bencana kelaparan di wilayah Papua belum menyasar ke akar masalah. Alih-alih mengedepankan upaya mitigasi antisipatif, pemerintah cenderung terfokus pada upaya kuratif seperti sekadar mengirimkan bantuan pangan pada lokasi bencana kelaparan.
“Kuncinya adalah antisipasi dan pengembangan riset pangan lokal. Jika bantuan misal sekarang terpenuhi, apakah menjamin di kemudian hari terpenuhi? Saat ini di wilayah Puncak, nanti di Yahukimo, di Bukit Bintang dan tempat lain gimana?” kata Cahyo kepada reporter Tirto.
Ia menilai pemerintah masih terlalu fokus pada urusan politik di Papua. Penanganan konflik dan kelompok bersenjata menjadi sorotan utama pemerintah sehingga membuat permasalahan kesejahteraan terabaikan.
“Kalau kita lihat bencana alam karena cuaca ini, kan, sudah sering terjadi. Namun kenapa masalah ini tidak menjadi prioritas dan perhatian. Maka kan terjadi masalah tata kelola sebenarnya,” tegas Cahyo.
Selain itu, Cahyo menjelaskan, masyarakat Papua sudah bertahan hidup sejak lama dengan pangan lokal mereka seperti sagu dan buah merah. Seharusnya, pemerintah bisa memberikan fasilitas dukungan untuk pengembangan pangan lokal seperti usaha penguatan riset.
“Kurang dikembangkan tidak diriset, kalau tidak antisipasi seperti penelitian pangan lokal kalau ada suhu dingin misalnya gimana,” kata Cahyo mempertanyakan.
Pemerintah Cari Solusi Permanen
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyampaikan, kunjungannya ke Provinsi Papua Tengah pada Rabu (2/8/2023), diharapkan mampu menghasilkan solusi permanen untuk permasalahan di wilayah tersebut.
“Salah satu maksud kunjungan saya ke sana untuk melakukan koordinasi lapangan,” kata Muhadjir saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (1/8/2023).
Muhadjir berharap permasalahan kelaparan di Papua tidak terulang kembali meski terjadi cuaca ekstrem. “Mencari solusi permanen strategis agar tidak lagi terjadi berulang di masa mendatang,” tegas Muhadjir.
Di sisi lain, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto dijadwalkan akan membersamai Muhadjir dalam lawatan tersebut. Mantan Pangdam V Brawijaya itu menyatakan akan menyerahkan langsung dukungan logistik serta peralatan kepada pemerintah daerah setempat.
“Kami BNPB bersama Menko PMK sebagai representasi pemerintah pusat akan hadir memberikan dukungan langsung kepada pemerintah Kabupaten Puncak atas bencana kekeringan. Semoga dukungan itu dapat meringankan beban saudara kita di sana,” kata Suharyanto di Jakarta, Senin (31/7/2023).
Baca selengkapnya: https://tirto.id/gNzs