Mengurai Masalah Kesehatan yang Mengancam Anak-anak Wamena

Mengurai Masalah Kesehatan yang Mengancam Anak-anak Wamena

Anak-anak di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, meniti jalan panjang untuk mendapatkan hak hidup sehat. Hingga kini, gangguan kesehatan di sana bagaikan benang kusut yang sulit untuk diurai.

Kalau diibaratkan sebuah buku, masalah tersebut punya bab cerita sendiri. Adapun gizi buruk menjadi salah satu faktor dari sejumlah masalah kesehatan yang kerap terjadi.

Fakta tersebutlah yang didapati Kompas.com saat melakukan perjalanan ke Wamena pada akhir September 2023.

Bukan kota yang menjadi tujuan Kompas.com, melainkan beberapa desa yang secara kemudahan akses berada pada ring dua dan tiga.

Beruntung, Kompas.com mendapat bantuan dari organisasi yang ada di wilayah tersebut, yakni Wahana Visi Indonesia (WVI), sehingga berkesempatan untuk berkunjung ke desa yang selama ini mereka dampingi.

WVI adalah organisasi kemanusiaan Kristen yang berfokus pada kesejahteraan anak tanpa membedakan agama, ras, suku, dan gender.

Organisasi itu aktif dalam kegiatan kemanusiaan, baik yang bersifat tanggap darurat, advokasi, maupun pengembangan masyarakat.

WVI sendiri sudah ada di Wamena sejak 2004 dan secara konsisten membantu mengatasi berbagai masalah kerentanan pada anak, mulai dari pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak.

Adapun saat berkunjung ke salah satu desa yang ada di Wamena, sejumlah anak-anak antusias menyambut kami. Mereka adalah anak-anak yang selama ini mendapatkan bantuan dan pendampingan dari WVI.

Sembari menyapa, anggota WVI mengajak mereka bermain. Ini layaknya ritual pendahulu setiap mereka melakukan kunjungan ke sana. Merasa familiar, tawa anak-anak itu lepas. Matanya berbinar senang. Meski demikian, ada yang mengganjal. Dilihat dengan mata telajang pun siapa pun bisa tahu. Anak-anak itu terlihat tidak dalam kondisi sehat 100 persen.

Ada yang terlihat flu dan mengeluarkan ingus. Bukan satu atau dua orang, tetapi banyak. Ada pula yang memiliki penyakit kulit. Bisa jadi kusta, atau yang lainnya.

Ada yang sambil bermain, tetapi sesekali meringis. Kondisi kakinya terluka. Luka pada kaki tersebut tidak diberi plester, apalagi disterilisasi. Luka itu hanya ditutupi dengan plastik hitam lalu dikebat longgar. Begitulah kodisi anak-anak di desa itu. Sakit pun, tidak mereka rasa.

Di jalan, kami sempat berpapasan dengan anak-anak yang sedang makan. Membawa mangkuk berisi nasi dan sayur, mereka makan seadanya.

Buruknya kondisi kesehatan anak Wamena didasari oleh berbagai faktor.

Buruknya kondisi kesehatan anak Wamena didasari oleh berbagai faktor. (Dok. Kompas.com/Erlangga Satya)

Anak-anak itu masih tinggal di honai beralaskan jerami. Mengujungi salah satu tempat tinggal mereka, Kompas.com bertemu dengan Alemina, penduduk asli.

Alemina adalah ibu dari tiga orang anak. Setiap harinya, ia bekerja di kebun mulai pukul 7 pagi.

“Saya menanam berbagai macam sayur. Hasil jual sayur untuk membeli beras. Sebelum berangkat, anak-anak saya siapkan makanan. Makannya nasi dengan sayur kol setiap hari. Anak-anak sendiri, makan biasanya dua kali sehari,” kata Alemina ditemui pada Rabu (27/9/2023).

Dengan status ekonomi serba terbatas, sayur menjadi satu-satunya lauk yang bisa disajikan.

Terkait kesehatan, Alemina mengaku jarang memeriksakan anaknya di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) atau pos layanan terpadu (posyandu). Selain karena keterbatasan akses, ia tidak memiliki kepercayaan dengan ilmu kedokteran.

Alemina mengaku lebih memilih untuk merawat anaknya secara mandiri jika sakit. Adapun fasilitas kesehatan menjadi opsi terakhir jika sudah dalam kondisi darurat.

Hal seperti itu pula yang diamini salah satu warga desa lain, Heni. Dari keterjangkauan akses, desa yang ditinggali Heni ini berada di ring tiga, jauh dari kota.

Bermata pencaharian sebagai petani, Heni berusaha untuk selalu mencukupi kebutuhan makan anak-anaknya.

Berbeda dengan Alemina yang selalu menyajikan sayur sebagai pedamping nasi, Heni lebih sering memberikan anaknya nasi berteman lauk ubi.

Soal kesehatan pun sama. Bagi Heni, fasilitas kesehatan (faskes) bukanlah prioritas. Ia juga mengaku bahwa terakhir kali dirinya memeriksakan kondisi buah hatinya adalah saat anaknya berumur dua tahun.

Jika anaknya sakit, Heni cenderung memilih untuk membawa sang anak ke mantri ketimbang faskes yang ada.

“Sudah lama tidak ke posyandu karena berhalangan. Terakhir imunisasi, anak saya malah demam dan bengkak. Keluarga pun marah besar (pada saya). Dari situ, kami tidak percaya lagi (dengan faskes karena takut anak kenapa-napa). Kami juga takut dengan vaksinasi. Sebab, banyak yang bilang hal itu bisa mengakibatkan kematian,” akunya.

Dibayangi kasus gizi buruk

Pelaksana Gizi Bagian Kesehatan Masyarakat Dinas kesehatan (Dinkes) Jayawijaya Sulastri yang ditemui Kompas.com, Kamis (28/9/2023), tak menampik bahwa gangguan kesehatan merupakan salah satu tantangan terbesar yang ada di Wamena.

Dengan kondisi ekonomi dan literasi orangtua mengenai kesehatan yang terbatas, anak-anak terancam berisiko mengalami gangguan kesehatan serius, bahkan kematian.

Dilansir dari laman rri.co.id, Selasa (22/8/2023), kasus kematian anak di Jayawijaya disebutkan memang didominasi oleh kasus gizi buruk.

“Penyebabnya multifaktor. Namun, kebanyakan memang karena orangtuanya tidak langsung membawa anak ke faskes saat kondisinya sudah memburuk. Akibatnya, si anak telat dalam mendapatkan screening atau penanganan,” ujar Sulastri saat diwawancara dengan Kompas.com, di kantor Dinkes Jayawijaya.

Selain kematian, gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Jayawijaya juga menjadi penyebab dari tingginya angka stunting di wilayah itu.

Menurut keterangan Sulastri, angka stunting di Kabupaten Jayawijaya pada 2022 berada di kisaran 25 persen. Angka ini masih belum mencapai 14 persen sesuai yang telah ditargetkan secara nasional.

Seiring berjalan waktu, angka stunting di Kabupaten Jayawijaya hingga triwulan kedua 2023 malah naik di atas 25 persen.

“Angkanya belum valid (dan bisa jadi lebih banyak atau rendah) karena masih banyak ketidakakuratan dari data yang kami himpun. Hanya saja, angka stunting ini memang banyak, khususnya (di desa) yang ada di ring dua dan tiga. Mereka kekurangan gizi karena faktor ekonomi. Jadi, makanannya juga tidak seimbang. Lebih sering ubi,” terang Sulastri.

Sulastri menambahkan, masalah kesehatan selanjutnya yang umum terjadi pada anak-anak di Kabupaten Jayawijaya, terutama Wamena, adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Potret kehidupan masyarakat Wamena yang ada dalam honai.

Potret kehidupan masyarakat Wamena yang ada dalam honai.(Dok. Kompas.com/Erlangga Satya)

Umumnya, penderita ISPA berasal dari masyarakat yang tinggal dalam honai yang merupakan rumah adat Papua dan didominasi oleh jerami.

Untuk diketahui, honai umumnya hanya terdiri dari satu ruangan utama. Ruangan tersebut kerap digunakan untuk segala aktivitas, mulai dari tidur hingga memasak.

Adapun saat malam hari, biasanya keluarga yang tinggal di dalam honai akan menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuhnya. Hal inilah yang disinyalir sebagai penyebab utama anak-anak di Papua menjadi rentan terkena ISPA.

“Bakar-bakaran di honai sehingga asapnya dihirup sama anak. Akibatnya, mereka infeksi dan batuk. Saat masih kerja di rumah sakit, saya sering menemui kasus macam ini. Dalam jangka waktu panjang, penyakit infeksi terus terjadi. Anak juga tidak didukung asupan yang baik. Jadinya berat badan anak ini menurun,” katanya.

Tidak percaya ilmu kesehatan

Masalah kesehatan anak yang terjadi di Wamena memang jadi pekerjaan berat yang cukup sulit ditangani.

Pasalnya, selain karena faktor ekonomi dan infrastruktur, kurang percayanya masyarakat terhadap ilmu kesehatan yang telah terbukti secara ilmiah jadi tantangan besar yang harus dihadapi.

“Sudah semacam adat dan sudah jadi kebiasaan. Ini jelas susah diubah karena sudah berlangsung lama,” tutur Sulastri.

Perbincangan soal itu juga dibahas Kompas.com saat berkesempatan bertemu dengan salah satu penyiar anak pada program Lagu dan Belajarnya Anak Wamena (Labewa) yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Kabupaten Jayawijaya, Magie.

Magie secara terang-terangan mengakui bahwa salah satu alasan dari sulitnya anak-anak di Kabupaten Jayawijaya untuk mendapat hak hidup sehat dikarenakan kuatnya dogma dan ketakutan terhadap ilmu kesehatan modern.

“Di sini (Wamena) memang seperti itu. Beberapa kerabat saya pun mengaku tidak percaya dengan dokter. Pernah ada (orangtua) yang melakukan imunisasi terhadap anaknya. Tak berapa lama, anaknya itu mengalami demam. Sejak saat itu, dia tak percaya lagi dengan penangan medis karena menyangka malah berniat buruk. Padahal, demam itu reaksi wajar yang didapat setelah anak diimunisasi,” ujar Magie.

Di Wamena, jika anak baru mengalami sakit selama satu atau dua hari, tak jarang para orangtua lebih memilih untuk mendiamkan atau melihat kondisinya terlebih dahulu dan menanganinya secara mandiri atau dengan cara tradisional.

“Itu juga yang membuat anak jadi susah sembuh. Sebab, mereka juga telat mendapatkan penanganan. Kalau di sini itu, orangtua bisa dibilang lebih percaya dukun (pengobatan tradisional) ketimbang dokter,” jelasnya.

Butuh kerja sama

Menurut Sulastri, menangani permasalahan kesehatan pada anak di Wamena menjadi tantangan tersendiri. Selain karena tertutupnya sudut pandang masyarakat terhadap ilmu kesehatan modern, kurangnya koordinasi dari sejumlah organisasi perangkat daerah dan lembaga jadi penyebabnya.

“Kami memang harusnya jalan bersama, tapi kenyataannya berbeda. Kami sering bertemu untuk melakukan evaluasi. Namun, tidak pernah menemukan kesepahaman. Jadi, di lapangan, berbagai pihak jalan dengan cara masing-masing,” terangnya.

Untuk mengurai hal tersebut, Sulastri pun berharap agar organisasi seperti WVI bisa menjadi mediator dan membantu lembaga pemerintah dalam menyatukan kesepahaman.

Hal itu penting dilakukan agar permasalahan kesehatan yang ada di Wamena bisa perlahan diatasi.

“Untuk WVI, kalau bisa, tolong libatkan kami juga saat sedang turun ke masyarakat dan memberikan edukasi. Kalau bersama kan bisa jadi lebih mudah. Apalagi, kebiasaan masyarakat di sini memang cukup sulit diubah. Kami juga ingin pemerintah pusat membantu menambah tenaga kesehatan agar (kami) bisa semakin menjangkau daerah pinggiran,” harapnya.

Area Program Manager (APM) WVI Kabupaten Jayawijaya Joko Prasetiyo mengatakan, pihaknya siap membantu lembaga terkait yang ingin mengatasi masalah kerentanan di Papua Pegunungan.

Meski begitu, ia mengakui bahwa hal tersebut harus dilakukan secara perlahan.

Sebagai contoh, WVI memiliki program pendampingan imunisasi ataupun vaksinasi untuk membantu anak dan masyarakat.

Namun, program tersebut cukup sulit dilaksanakan lantaran masyarakat, khususnya orang asli Papua (OAP), tak ingin memeriksakan dirinya dan enggan pergi ke faskes terdekat.

“Program edukasi kami jalankan bersama seorang dokter dan itu kami lakukan saat pandemi. Kami juga ajak mereka untuk vaksinasi. Meski begitu, masyarakat enggan melakukan itu dan akhirnya kami yang harus mengunjungi mereka satu per satu. Seperti yang terlihat kan? Di sini banyak anak yang tampilannya memprihatinkan, tapi tak mendapat penanganan dengan baik dan masyarakat juga kurang terbuka,” ujar Joko.

Sementara terkait gizi anak, WVI juga rutin melakukan edukasi kepada orangtua agar mereka memberikan makanan yang baik untuk sang buah hati.

Pasalnya, meski anak-anak kerap diberi sayur-sayuran yang sehat secara gizi, tapi tidak dimasak dengan tepat sehingga kandungan gizi yang ada di dalamnya menjadi tak optimal.

“Padahal, memenuhi gizi anak itu penting karena bisa berpengaruh pada kecerdasannya. Bagaimana mau belajar secara maksimal jika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi?” ucapnya.
Anggota WVI saat memberikan pengarahan pada sejumlah anak di Wamena.

Anggota WVI saat memberikan pengarahan pada sejumlah anak di Wamena.(Dok. Kompas.com/Erlangga Satya)

Ke depan, lanjut Joko, WVI akan menyiapkan program tambahan terkait kesehatan agar anak-anak di Kabupaten Jayawijaya bisa mendapatkan haknya untuk hidup sehat.

Adapun jika memungkinkan, WVI akan mengadakan program berupa pemberian makanan tambahan kepada anak agar kebutuhan gizinya tercukupi.

“Paling tidak, ada makanan tambahan agar saat mereka belajar (sekolah) itu sudah dalam kondisi perut kenyang tercukupi. Dengan begitu, anak-anak bisa lebih maksimal dalam menyerap pelajaran,” terang Joko. WVI berkomitmen hadir di Wamena dan Kabupaten Jayawijaya agar dapat membantu mengentaskan isu-isu kesehatan dan pendidikan.

Namun, katanya, tujuan tersebut tak akan bisa WVI capai sendirian. Sebab, dukungan besar dari dinas terkait, masyarakat, dan mitra, dibutuhkan agar semua masalah kerentanan terhadap anak bisa diatasi.

Semakin besar dukungan yang diberikan, termasuk dari mitra, maka akan semakin cepat pula masalah yang ada dapat teratasi.

"Mengatasi masalah di Wamena dan Kabupaten Jayawijaya bukan hal mudah. Kami tidak bisa bekerja sendirian. Anak-anak di Wamena berhak untuk mencapai harapan dan mimpi mereka. Saya percaya, kita semua bisa membantu untuk mewujudkan harapan-harapan mereka," tutur Joko.

Mari wujudkan harapan anak-anak Wamena dan Kabupaten Jayawijaya. Bantu atasi masalah anak Papua dengan klik tautan berikut.

Childhood HOPE mendukung anak-anak papua di tempat terjauh | Wahana Visi Indonesia

Sumber: Mengurai Masalah Kesehatan yang Mengancam Anak-anak Wamena (kompas.com)


Related Articles