Selangkah di Depan, Terbitkan Perdes Perlindungan Anak

Selangkah di Depan, Terbitkan Perdes Perlindungan Anak

MASYARAKAT Desa Suka Maju, Kecamatan Sungai Betung, Kabupaten Bengkayang, beruntung punya Markas sebagai kepala desa. Pria yang sudah tiga periode menjadi pemimpin itu menaruh perhatian besar pada kekerasan seksual. Khususnya yang korbannya adalah anak-anak.

Markas menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) 5/2017 tentang Perlindungan Anak. Inisiatif itu muncul karena tingginya angka perkawinan anak di wilayahnya. ’’Perkawinan pada anak ini juga masuk kategori kekerasan seksual pada anak,’’ paparnya kepada Jawa Pos saat ditemui di kantornya pada Rabu (9/2).

Mengacu perdes tersebut, perangkat desa bisa menolak pendaftaran pernikahan jika usia mempelai di bawah umur. Salah satu saja usianya belum mencukupi, Markas dan stafnya tidak akan mendata pernikahan yang dimohonkan. Aturan tegas itu sukses menekan angka perkawinan anak di Suka Maju.

Para orang tua juga menjadi lebih memperhatikan usia nikah anak-anak mereka. Jangan sampai di bawah umur, karena Markas dan stafnya pasti akan menolak pengurusan surat-suratnya. Tanpa surat-surat dari desa, dipastikan warga akan sulit menjalani aktivitas mereka. Terutama saat hendak menyekolahkan anak-anak mereka.

Orang tua yang nekat menikahkan anak di bawah umur pun tidak akan bisa memaksa desa untuk menerbitkan akta kelahiran bagi cucu mereka. Maka, si cucu juga akan sulit mendaftar sekolah kelak. Sebab, akta kelahiran menjadi syarat mutlak masuk sekolah.

Ketegasan Markas dan keberaniannya menerbitkan aturan yang ketat itu layak diapresiasi. Perkawinan anak kini tidak lagi menjadi problem di wilayah 3T tersebut.

Namun, bagaimana cara Markas mencegah bentuk kekerasan seksual yang lain, yang lebih nyata? Pencabulan dan pemerkosaan, misalnya. ’’Hukum adat,’’ tegasnya.

Mereka yang kedapatan melakukan kekerasan seksual akan langsung dikenai hukum adat sebelum menerima sanksi pidana. Untuk itu, Markas menggandeng tokoh-tokoh adat setempat. Dalam satu desa, posisi para tokoh adat berada di bawah kepala desa. Sanksi adat yang biasa diberikan kepada para pelaku kekerasan seksual adalah denda berupa barang. Bisa ternak atau sejenisnya. ’’Jika diuangkan, sanksi adat untuk pelaku kejahatan seksual bisa sekitar Rp 40 juta,’’ kata Markas.

Selama ini, para pelaku kekerasan seksual selalu membayar denda tersebut. Jika pelaku tidak mampu, biasanya saudara-saudaranya iuran untuk membantu. ’’Pokoknya sanksi adat itu harus dibayar,’’ tegas Markas. Jika perlu, pelaku atau keluarganya utang atau menjual sawah dan ladang mereka.

Sanksi adat itulah yang memberikan efek jera kepada masyarakat. Mereka juga saling menjaga agar jangan sampai ada anggota keluarga atau kerabat yang nekat menjadi pelaku kekerasan seksual. Sebab, mereka juga bisa kena imbasnya. Jika Markas dan Desa Suka Maju di kawasan 3T saja punya strategi jitu untuk mencegah kekerasan seksual, masak pemerintah pusat tidak?


Related Articles