Anak-anak Indonesia, Tetaplah Bersukacita
Sejak anak-anak hingga dewasa nanti, sukacita dan kesedihan adalah dua emosi yang terus berganti-gantian. Namun, bagi seorang anak, sukacita adalah hal yang krusial. Sukacita seorang anak dimulai dari adanya harapan dalam keluarga serta relasi yang aman dan nyaman dengan orang tua. Bila tangki sukacita seorang anak terpenuhi, ia dapat memiliki kesempatan untuk hidup sebagai manusia yang lebih siap berbaur dalam dinamika kehidupan sosial.
Masa kecil adalah waktu di mana anak belajar bagaimana mengenali dan mencerna berbagai emosi termasuk kesedihan dan sukacita. Sebagian anak sempat mengalami peristiwa yang memberi gelombang kesedihan yang sangat besar, dan sebaliknya. Keluarga, teman, serta lingkungan sekitar anak menjadi jaring pengaman agar ketika anak mengalami kesedihan ia dapat bangkit kembali, atau ketika mengalami sukacita ia dapat berbagi.
Marselus, seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun, pernah mengalami beberapa masa yang menguji ketahanannya dalam menerima kesedihan. “Pas kecil, banyak keinginan Selus atau inner child yang tidak terpenuhi. Apalagi setelah mama Selus meninggal, Selus berjuang untuk bertahan. Mencoba menghibur diri kembali, membuat dunia masih tetap sama, tetap gembira,” tuturnya.
Sebagai anak bungsu di keluarga, Marselus memiliki relasi yang sangat dekat dengan ibunya. “Waktu Mama sudah tidak ada itu, Selus merasa hilang arah. Tapi di satu sisi Selus juga merasa masih banyak yang belum Selus lakukan di dunia ini, masih ingin melakukan banyak hal menarik yang membawa kebahagiaan untuk Selus,” ungkap sosok yang saat ini sedang menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat Anak Wahana Visi Indonesia ini.
Di usia 11 tahun, Marselus harus kehilangan sosok seorang ibu dan peristiwa ini mengubah kehidupannya. Di usia SD ini juga ia pernah mengalami perundungan di sekolah. “Dulu Selus sering sekali di-bully oleh kakak-kakak kelas. Sampai pernah nangis dan pas SD merasa takut pergi ke sekolah karena pasti akan ketemu lagi sama orang-orang yang mem-bully ini,” katanya.
Setelah mengalami kesedihan-kesedihan ini, Marselus dapat saja memilih untuk pesimis dengan masa depan. Namun, Marselus sadar bahwa ia tidak bisa berlama-lama diam dalam kesedihan. Di usianya yang masih sangat muda, ia mencoba memahami bahwa manusia tidak bisa memaksakan keadaan. Tuhan sudah menentukan berbagai rencana dalam hidup kita baik itu sesuatu yang kita rasa buruk maupun baik.
Marselus, didukung oleh keluarga, teman, dan pendampingan dari WVI, memilih untuk kembali mencari dan menemukan sukacita terlepas apapun kondisinya. Saat ini, Marselus malah mampu menjadi saluran sukacita bagi anak lain di sekitarnya. “Orang lain itu harus terkena energi positifku. Kalau ada teman yang sedih, Selus ingin saja membuat tingkah lucu atau konyol, kadang suka terlihat aneh tapi senang bisa menghibur orang lain,” tutur murid kelas XI ini.
Karena pernah merasakan sedihnya dirundung, Marselus pun menjadi seorang anak yang peduli pada kehidupan anak lain. Contohnya, ia tidak mengabaikan teman yang dijauhi oleh anak lain di sekolah. Ia bersedia menjadi pendengar yang baik dan memahami mengapa setiap anak memilih sikap tertentu yang mungkin tidak menyenangkan untuk orang lain. Ia menyesuaikan sudut pandangnya agar dapat membantu memberikan solusi untuk masalah yang dihadapi anak-anak di sekolah atau di lingkungan tempat tinggalnya.
“Seseorang yang bahagia pasti lebih semangat menjalani hidupnya. Mereka juga pasti merasa kalau mood-nya lebih enak, lebih kalem karena setiap hari merasa bahagia. Bahagia juga membuat kita bisa lebih peduli pada sesama, terutama kalau ada yang sedih. Jadi kalau kita bersukacita, pasti orang lain juga tertular sukacita kita,” ujar Marselus.
Seorang anak yang berasal dari Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat ini berani percaya bahwa kesedihan akan tergantikan dengan sukacita. Yang terpenting, ketika berada dalam kesedihan, setiap anak bisa mengambil keputusan untuk tidak berlama-lama berada di dalamnya. Marselus membayangkan, bila anak-anak hidup tanpa sukacita, maka dunia akan dipenuhi oleh sosok yang egois dan penuh kemarahan. Situasi seperti ini hanya akan merugikan generasi itu sendiri.
Kehadiran WVI di desa tempat Marselus tinggal juga menjadi salah satu pendukung anak-anak dapat mengeksplor sukacita dalam hidup mereka. Dari ragam kegiatan yang masyarakat dan WVI lakukan di desa, Marselus merasa klop dengan kegiatan Forum Anak. Ia pun bergabung sebagai anggota Forum Anak Desa pada tahun 2022.
“Sebelum ada Forum Anak, tidak pernah ada yang bertanya pada anak-anak, ‘Bagaimana pendapat kamu tentang kondisi desa?’ atau ‘Bagaimana pendapat kamu tentang stunting?’. Padahal aku yakin kalau kami dikasih ruang berpendapat, pasti ada masukkan yang bisa digunakan,” ungkap Marselus.
Pengalaman dapat menyampaikan pendapat di hadapan para pemangku kepentingan dari tingkat desa hingga nasional menajdi sumber sukacita bagi Marselus. Pengalaman merasakan kesedihan-kesedihan dalam hidupnya membuat Marselus tidak ingin menyimpan sukacita hanya untuk dirinya sendiri. Dan ia pun berpesan, “Jangan jadikan kesedihan atau kedukaan kita sebagai alasan untuk kita menyakiti orang lain atau mengubur mimpi-mimpi kita,”. Anak-anak Indonesia, tetaplah bersukacita!
Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive)