Cerita Cinta yang Mengubah Hak Anak di Wamena

Cerita Cinta yang Mengubah Hak Anak di Wamena

Fransina, seorang ibu muda yang tinggal di salah satu desa dampingan WVI, adalah saksi hidup dari perubahan besar yang terjadi dalam mewujudkan hak anak di desa-desa. Bersama tim relawan Program Peduli Anak di desa, Fransina menjadi bagian dari perjalanan yang membawa kebahagiaan dan hak-hak anak di kampung halamannya. 

Fransina mengingat bagaimana dahulu gereja di Wamena belum sepenuhnya menyadari urgensi hak anak. Data pemantauan wakil anak di desa dampingan WVI menunjukkan fakta yang tidak dapat diabaikan: hanya 23% anak yang memiliki akta kelahiran, adanya kekerasan dalam pengasuhan serta keterbatasan akses pendidikan masih menjadi kenyataan pahit bagi banyak anak di desa. “Saya tidak bisa membiarkan anak-anak di sekitar saya tumbuh dalam ketidakpastian ini,” ujar Fransina. 

Namun, berkat upaya tim relawan dan kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat, perubahan mulai terjadi. “Saya merasa terinspirasi oleh Kak Ida, seorang relawan hebat di desa, yang menginisiasi pemenuhan akta kelahiran untuk anak-anak di wilayahnya, memberikan identitas resmi kepada setiap anak, dan menyadarkan kami akan pentingnya hal ini,” ceritanya. 

Fransina makin terubahkan ketika mengikuti pelatihan Pengasuhan dengan Cinta. “Saya merasa harus memberikan perhatian lebih kepada anak-anak saya. Saya menyadari ternyata anak-anak pun perlu untuk didengar. Kini keluarga kami menjadi lebih harmonis karena kami menerapkan pengasuhan dengan cinta di rumah,” aku ibu muda ini. 

Pelatihan Pengasuhan dengan Cinta di desa tempat Fransina tinggal difasilitasi oleh WVI bekerja sama dengan Gereja. Perubahan-perubahan sederhana namun bermakna pun mulai terjadi di antara tokoh agama. Pak Gerardus, tokoh Gereja Katolik yang selama ini merasa gereja kurang peduli terhadap anak-anak, mengungkapkan perubahan hatinya dengan mata berkaca-kaca. "Sekarang kita mulai dari hal kecil, mulai menyapa anak, menanyakan kabarnya. Kita mulai dari hal yang sesederhana itu," ujarnya dengan tulus. 

Setelah setahun, perubahan signifikan terasa di masyarakat Wamena. Pak Gerardus mulai mengadakan percakapan dengan orang tua di Gereja tentang Pengasuhan dengan Cinta. Dari obrolan ringan yang sarat pesan-pesan tentang pengasuhan anak inilah Pak Gerardus kemudian mengenal sosok aktivis hak anak lainnya. “Saya melihat sosok Meyke, terlibat dalam implementasi Citizen Voice and Action di salah satu Gereja agar 26 anak usia sekolah dapat masuk ke sekolah tanpa kendala biaya yang tinggi. 

Selain bersemangat, Meyke merasa terhormat menjadi bagian dari perubahan ini. Melihat anak-anak yang dulunya terhambat oleh biaya sekolah kini dapat terdaftar tanpa hambatan besar adalah hadiah terbesar. Bersama Fransina, Pak Gerardus, dan tim relawan lainnya, Meyke bukan hanya memperjuangkan hak anak, tetapi juga menjadi alat untuk memberdayakan masyarakat sekitar. 

"Tuhan bisa pakai siapapun untuk menyampaikan misinya," kata Meyke dengan penuh keyakinan. "Sekarang kita mau atau tidak. Itu sebabnya saya ingin menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menyampaikan misinya, khususnya untuk pelayanan anak,”. 

Cerita ini merupakan bukti bahwa ketika ada kesatuan, sekecil apapun peran yang diambil tentu mampu menginspirasi perubahan besar. Fransina, dan kita semua, adalah bagian dari perubahan ini. Mari kita bersama-sama menjadi saksi perubahan dan cinta untuk terwujudnya hak anak di dalam hati masyarakat Papua.

 

 

Penulis: Joko Prasetyo (Manager kantor operasional WVI di Pegunungan Tengah, Papua) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait