KLB Literasi? Krisis Kemampuan Literasi Dasar Anak di Wilayah 3T
Istilah KLB (Kejadian Luar Biasa, outbreak) lebih sering digunakan dalam konteks kesehatan, khususnya untuk merujuk pada peningkatan tajam jumlah kasus penyakit yang sama dalam jangka waktu dan wilayah tertentu. Dalam pendidikan, istilah yang paling umum digunakan adalah `masalah', 'tantangan' atau 'krisis'. Namun, dalam beberapa kasus, istilah KLB dapat digunakan secara metaforis untuk merujuk pada peningkatan dramatis dalam masalah-masalah tertentu dalam bidang pendidikan, seperti KLB perundungan di sekolah.
Terlepas dari istilah mana yang dipakai untuk menggambarkan kondisi keadaan literasi saat ini, urgensi untuk segera melakukan tindakan yang “tidak biasa-biasa" saja merupakan hal yang perlu diseriusi. Data hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018 (sebelum pandemi) menunjukkan bahwa semua skor Indonesia relatif turun di semua bidang (membaca, sains dan matematika). Nyatanya saat ini, karena dampak pandemi learning loss tidak bisa dihindarkan, alhasil makin menambah buruk literasi anak-anak di wilayah 3T yang serba terbatas dari berbagai akses penunjang pelaksanaan pendidikan.
Data indeks Aktivitas Literasi Membaca (Kemendikbud, 2019) menunjukkan 4 provinsi dengan indeks terendah yakni, Papua, Papua Barat, Kalimantan Barat, dan NTT. Sementara, hasil baseline survey Wahana Visi Indonesia pada tahun 2021 di 236 Sekolah Dasar (N=3.069) yang tersebar di 5 kabupaten menunjukkan hanya 44,25% siswa kelas 3 yang bisa membaca dan memahami bacaan, sisanya tidak bisa membaca (39,26%) dan masih pembaca pemula (16,49%). Padahal di masa peralihan untuk menjadi "pembaca untuk belajar” ini sangat menentukan retensi anak di sekolah dan juga berperan penting untuk keberhasilannya di masa depan, baik dalam kesehatan fisik maupun mental, peluang ekonomi yang lebih baik, resiliensi diri, berpikir kritis dalam merespon perubahan, hingga mampu berkontribusi pada komunitasnya.
Memang sudah 78 tahun Indonesia merdeka, namun kenyataanya masih banyak anak-anak dan masyarakat yang masih belum merasa merdeka sepenuhnya karena mereka belum bisa keluar dari jerat kemiskinan oleh karena keterbatasan dalam mengakses layanan-layanan dasar, khususnya pendidikan. Infrastruktur yang mimin, akses sarana dan prasarana terbatas, kurangnya kuantitas dan kualitas guru dan tenaga kependidikan, tingkat drop out tinggi, dan masih rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan (literasi) bagi anak sudah menjadi masalah laten di 3T. Diperlukan kerja-kerja yang ekstra untuk mengurai satu demi satu tantangan-tantangan yang berakumulasi menjadi krisis ini.
WVI merespon krisis literasi ini dengan melakukan pendekatan berbasis pada lingkungan ekologis anak. Dimulai dari melakukan intervensi pada anak secara langsung melalui kegiatan-kegiatan literasi yang berkualitas, baik di rumah maupun di sekitar lingkungan tempat tinggalnya (Kampung Literasi) di luar jam sekolah. Dilanjutkan dengan pelatihan dan pendampingan tentang pengasuhan dan literasi kepada orang tua dan pengasuh anak. Di sekolah formal, WVI melatih guru dan kepala sekolah tentang pembelajaran literasi yang kontekstual dan menyenangkan dengan pendekatan Wahana Literasi.
Meningkatnya literasi anak di kelas awal sekolah dasar akan membawa dampak baik bagi perkembangan anak itu sendiri, baik dalam hal menguasai kosa kata atau punya wawasan yang luas, memiliki fondasi utama dalam berpikir kritis, dan meningkatkan kualitas hidupnya. Beberapa keterampilan hidup esensial yang akhirnya berkembang saat literasi dasar anak bisa dicapai antara lain: mampu berkomunikasi dengan baik, mampu bekerja sama atau berkolaborasi, mampu menyelesaikan masalah serta berani mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.
WVI melihat permasalahan literasi, khususnya di daerah 3T, mesti ditangani dengan pendekatan yang holistik dan perlu peran serta dari masyarakat atau komunitas setempat. Program model yang diimplementasikan WVI yang disebut Wahana Literasi ini merupakan sebuah pendekatan yang mengintervensi isu literasi dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang punya visi yang sama untuk kesejahteraan anak. Intervensi di sekolah melalui pelatihan kepada guru dan kepala sekolah, mendorong aksi masyarakat melalui penyadaran akan pentingnya pendidikan literasi bagi anak, pembukaan kelas parenting literasi untuk orang tua/pengasuh, pengembangan bahan ajar dan buku-buku bacaan kontekstual, kegiatan Rumah Baca bersama tutor di kampung diharapkan membawa dampak signifikan pada peningkatan literasi anak, khususnya di wilayah 3T. Tentunya dengan dukungan dan komitmen yang kuat dari para pemangku kebijakan dalam memastikan penganggaran pendidikan di 3T teralokasikan dan terawasi dengan baik sehingga cita-cita untuk memajukan sumber daya manusia Indonesia dapat diwujudkan.
Penulis: Marthen S. Sambo (Education Team Leader)