Perempuan yang Melindungi Anak-anak dan Sesama Perempuan

Perempuan yang Melindungi Anak-anak dan Sesama Perempuan

Sesama perempuan tentu lebih mengerti bagaimana hancurnya kehidupan ketika harus mengalami kekerasan. Namun, sering juga sesama perempuan malah saling bergunjing ketika kasus kekerasan terhadap anak atau sesama perempuan terjadi di sekitar mereka. Hal seperti ini dapat menciutkan inisiatif penyintas perempuan melaporkan kasus dan menindak secara hukum. Sehingga akhirnya dukungan psikososial tidak diperoleh, kasus pun selesai hanya secara kekeluargaan. 

Tahun 2022, sebanyak 32.687 perempuan di Indonesia menjadi penyintas kasus kekerasan. Jumlah ini belum termasuk dengan sekian banyak kasus kekerasan yang tidak terlapor. Dari puluhan ribu penyintas perempuan tersebut, 54%-nya adalah anak perempuan usia 0-17 tahun. Anak-anak perempuan ini berada dalam kondisi yang paling rentan karena pelaporan kasus seringkali harus melibatkan ibu atau ayah mereka. Belum lagi bila anak mengurungkan niat melapor karena lingkungannya tidak memiliki aturan yang menjamin keamanan bila kasus-kasus kekerasan diselesaikan secara hukum. 

“Saya merasa miris melihat kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang masih terjadi di sekitar saya dan di Indonesia,” ujar Rosmini, seorang petani kakao dari Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Ia adalah salah satu petani kakao yang memperoleh pendampingan dari program Cocoa Life, kerja sama WVI dengan Mondelez International. Melalui program ini, Rosmini mendapatkan pelatihan terkait perlindungan anak termasuk pencegahan dan penanganan kasus pekerja anak di kebun kakao. Rosmini dan Mondelez International berharap setiap kakao yang dipanen di Kabupaten Kolaka Timur bebas dari keterlibatan pekerja anak. 

Sebagai seorang perempuan dan juga ibu, ia menyaksikan banyaknya kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang hanya menjadi kasak-kusuk di desa. Tapi karena ia juga berperan sebagai aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Rosmini sadar bahwa kondisi ini tidak bisa lagi didiamkan. 

“Di Kabupaten Kolaka Timur, pelaporan dan data kasus belum maksimal karena sebagian masyarakat masih menganggap hal ini tabu sehingga sulit mengungkap kasus kekerasan di desa,” tutur Rosmini. Ia pun memaparkan, “Belum lagi sekarang kondisinya anak-anak di desa banyak pakai gadget, sering melihat konten negatif. Di sisi lain, kegiatan operasional PATBM di desa juga belum ada regulasinya dari pemerintah pusat,”. 

Penyelesaian permasalahan perlindungan anak dan perempuan di desa terus berlomba dengan menumpuknya dampak dari kasus kekerasan. Lebih dari kesehatan fisik yang terganggu akibat luka atau cidera, penyintas kasus kekerasan mengalami dampak psikologis yang fatal dan mungkin menciptakan efek domino di tempat tinggalnya. “Bisa mengalami gangguan psikologis, sulit percaya pada orang lain sehingga sulit membangun relasi juga, menjadi pelaku kekerasan terhadap orang lain, dan mengalami kerugian finansial, waktu serta kebebasan juga,” jelas Rosmini. 

Berkaca pada kenyataan yang ia lihat sehari-hari, Rosmini dan para aktivis PATBM di desa segera dan konsisten melakukan aksi pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan. “Mimpi saya, anak-anak ini bisa hidup bebas tapi cerdas, bisa berkarya dan berkreasi, selalu mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi,” harapnya. Untuk mewujudkan mimpi tersebut, Rosmini menilai bahwa ia sebagai perempuan justru harus terlebih dulu memimpin aksi-aksi perlindungan anak di desa. Rangkaian sosialisasi atau penyuluhan perlindungan anak ia adakan di desa dan sekolah. Penyuluhan yang ia berikan termasuk pemahaman mengenai hak-hak anak, dampak kekerasan terhadap anak, dan batasan-batasan kegiatan yang boleh dilakukan anak saat membantu orangtua di kebun kakao. 

Rosmini dan aktivis lainnya juga mengadvokasi cairnya anggaran Dana Desa untuk kegiatan sosialisasi perlindungan anak. Hingga yang terpenting, ia juga melakukan pendampingan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak sesuai dengan jalur yang sah. 

Di luar aksi-aksi strategis yang Rosmini lakukan, ia juga ingin setiap perempuan di desa dapat mengambil peran yang dapat dimulai dari rumah. “Kita bisa mulai dulu dari mengembalikan fungsi keluarga. Bahwa ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Ibu yang jadi contoh bagaimana membangun komunikasi yang baik antaranggota keluarga. Ibu juga yang belajar lebih peka dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitar,” ujar Rosmini. Sehingga anak perempuan dapat memiliki keterbukaan dengan ayahnya, dan anak laki-laki dengan ibunya. Isu perlindungan anak dapat menjadi obrolan di meja makan atau ruang keluarga. Hal-hal yang dirasa tabu dapat diungkapkan sehingga kesejahteraan anak-anak di desa dapat lebih terjamin. 

Peran Rosmini di Kolaka Timur telah membuka banyak kesempatan dan harapan bagi anak-anak di desanya. Seorang perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai petani kakao dapat melakukan perubahan bagi anak dan perempuan lain. Meskipun berada di area rural, namun aksi perlindungan anak ini terbukti berdampak baik dan berkontribusi pada penurunan jumlah penyintas kasus kekerasan di Indonesia. 

Kisah Rosmini dan para aktivis PATBM ini menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi agen perubahan yang kuat dalam melindungi anak-anak dari kekerasan. Dengan tekad, aksi nyata, dan kerjasama, perempuan dapat menciptakan masa depan yang lebih aman dan sejahtera bagi generasi penerus bangsa. 

 

 

Penulis: Mariana Kurniawati (Communication Executive


Artikel Terkait