Pernikahan Anak sudah Menjadi Kebudayaan?

Pernikahan Anak sudah Menjadi Kebudayaan?

Jika sudah jodoh maka manusia tidak mungkin mengelak, apalagi jika sudah suka sama suka. Jalani saja karena hidup memang demikian sejak lama. Demikianlah hal yang dipikirkan oleh Oshin (28) seorang relawan Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi.

Pernikahan anak merupakan hal yang umum terjadi di lingkungan di mana Oshin tinggal, bahkan dapat dikatakan pernikahan anak telah menjadi budaya karena hal itu sudah dilakukan sejak lama. Oshin pun merupakan salah seorang yang menikah pada usia dini.

“Kami menganggap bahwa memang standarnya sudah seperti itu. Apalagi jika anak-anak sudah saling suka, maka tidak ada yang bisa menghalangi selain disetujui. Bahkan tidak jarang orangtua juga mendorong anak-anak untuk menikah jika sudah mencapai usia belasan tahun. Sampai sekarang sudah ada beberapa anak yang masih sekolah sudah diikat (ditunangkan) oleh keluarga lain untuk menjadi menantu mereka,” ceritanya di sela-sela pertemuan relawan WVI Area Program Sipado.

Oshin mengaku awalnya dirinya tidak merasa bahwa perkawinan anak menjadi suatu masalah, tetapi setelah mendapatkan sosialisasi dampak pernikahan anak yang dilakukan oleh WVI, Oshin mengerti bahwa pernikahan anak dapat berakibat fatal bagi ibu dan anak yang dilahirkan.

“Saya baru paham ada kaitannya dengan kesehatan reproduksi, kesehatan ibu muda dan calon anaknya, secara psikis berdampak bagi anak-anak yang menikah dini. Ketika ada penjelasan dari WVI yang lebih rinci saya baru menyadari bahwa ketidaksiapan mental untuk menikah menjadi alasan mengapa banyak pasangan muda yang berpisah atau bercerai bahkan ada juga yang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).” Lanjutnya.

Menurut Oshin pernikahan anak wajib dicegah. Kini sebagian besar remaja di lingkungannya sudah paham tentang dampak-dampak pernikahan anak. Ia pun berharap anak-anak bisa meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi serta mencapai cita-citanya barulah mereka menikah. Anak-anak didorong untuk mengatakan “Papa, Mama antarkan saya ke sekolah jangan ke pelaminan” setelah kegiatan sosialisasi berakhir.

“Saya berharap bahwa sosialisasi dapat dilakukan juga kepada semua orang tua supaya semakin banyak yang paham dan pernikahan anak dapat dicegah oleh semua lini masyarakat termasuk kedua anak perempuan saya. Dimulai dari saya! Terima kasih WVI,” pungkasnya.

Ditulis oleh: Vinna Mangeni, Fasilitator Kecamatan Kinovaro Kabupaten Sigi


Artikel Terkait