Ratusan Anak Asia Timur Serukan Lawan Kekerasan Selama Covid-19
Kasus kekerasan pada anak semakin gencar terjadi di masa pandemi Covid-19. Melihat fakta ini, lebih dari 100 peserta anak di seluruh Asia Timur bertemu dengan perwakilan pemerintah untuk membahas peningkatan kasus kekerasan anak yang dialami selama pandemi pada forum World Vision berjudul Asia Pacific Well-Being Learning Exchange: Let Our Voice be Heard, kemarin. Acara virtual yang diselenggarakan dalam kemitraan dengan UNICEF Asia Timur dan Pasifik ini mempertemukan anak dengan pemerintah, badan-badan PBB, para donor, organisasi masyarakat sipil, perusahaan, akademisi, para ahli di bidangnya, dan para pemimpin di sektor pembangunan untuk menyoroti masalah mendesak yang dialami anak paling rentan di dunia dan kesejahteraan mereka di Asia Pasifik.
Para perwakilan anak menyoroti terjadinya kekerasan pada anak yang meningkat, kesenjangan dalam mengakses layanan primer, terutama perlindungan anak dan menghimbau para pemimpin Asia untuk memenuhi komitmen mereka untuk memastikan setiap anak memperoleh hak sesuai dengan Konvensi Hak Anak.
Hilangnya mata pencarian selama Covid-19 telah memaksa orangtua dan pengasuh untuk mengambil tindakan putus asa yang berdampak negatif terhadap kesejahteraan anak-anak, termasuk mengakibatkan kekerasan di lingkungan mereka. Selain itu, banyak anak perempuan mengungkapkan bahwa mereka merasa tidak aman saat lockdown terjadi. Laporan Unmasking Report yang dilakukan oleh World Vision ini juga menunjukan bahwa 10% pengasuh mengirim anak-anak mereka untuk bekerja dan 9% rumah tangga mengirim anak mereka untuk mengemis atau untuk pekerjaan dengan risiko yang tinggi.
Ishak (17), anak Indonesia yang juga terlibat dalam acara ini mengatakan, pada masa pandemi semakin banyak anak yang bekerja serta meningkatnya kekerasan dan eksploitasi anak termasuk kekerasan anak, pekerja anak dan pernikahan dini.
“Ini diakibatkan karena banyak orangtua yang kehilangan mata pencaharian mereka dan meningkatnya stress di rumah akibat COVID-19. Ini harus dihentikan karena anak-anak adalah masa depan. Kami ingin merasa aman, dipedulikan dan terlindungi. Suara kami penting dan harus didengar,” cerita Ishak.
Anak-anak yang terlibat dalam acara ini juga menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah. Mereka mendorong pemerintah, masyarakat sipil dan swasta untuk mengambil tindakan mendesak dalam menangani kekhawatiran mereka dan meningkatkan intervensi perlindungan sosial yang sensitif terhadap anak, responsif terhadap gender dan bertanggung jawab. Perlindungan sosial harus menyediakan akses langsung untuk makanan, uang tunai, dan bantuan voucher untuk para keluarga yang paling rentan, dan peluang mata pencaharian melalui intervensi pasar tenaga kerja.
“Hak anak-anak dan remaja untuk partisipasi yang berarti adalah landasan penting dalam masyarakat mana pun, dan kunci untuk pengembangan sumber daya manusia dan keterlibatan sosial. Di saat krisis, kita harus memastikan bahwa upaya mitigasi tidak mengecualikan atau mengurangi ruang bagi anak muda untuk mengakses informasi dan pengetahuan yang benar, mengungkapkan opini mereka dan memberikan solusi untuk mengatasi krisis,” kata Marcoluigi Corsi, Wakil Direktur Regional UNICEF Asia Timur dan Pasifik.
Ditulis oleh: Amanda Putri, Media Relation Executive Wahana Visi Indonesia