Tidak Pernah Ada Kata Terlambat untuk Transformasi Keluarga

Tidak Pernah Ada Kata Terlambat untuk Transformasi Keluarga

Orang tua mana yang ingin anaknya gagal. Semua orang tua pasti menginginkan anak-anaknya sukses dan dapat meraih cita-citanya. Demikian juga dengan Bapak Frans (69 tahun), “Saya mau sa pu anak-anak semua sukses, meskipun yang bungsu ini dia nakal dan suka mabuk-mabukan, saya mau dia juga bisa berubah jadi orang sukses,” ceritanya. Ia resah karena anak bungsunya juga kerap berkonflik dengan ia dan istrinya. 

Bapak Frans rindu adanya keharmonisan dalam keluarganya. Selama ini, ia tidak pernah memperoleh bimbingan mengenai transformasi relasi dalam keluarga. Akses terhadap informasi atau pelatihan seperti ini sulit ia dapatkan. Cerita seperti ini bukan hanya terjadi pada Bapak Frans saja, melainkan juga di banyak keluarga yang tinggal di Kabupaten Jayapura, Papua. Hal ini yang membuat WVI bersama Gereja menginisiasi lokakarya Pengasuhan dengan Cinta (PDC) di desa tempat Bapak Frans tinggal. Kesadaran akan adanya transformasi dalam keluarga perlu disambut dengan wawasan yang tepat mengenai hal ini. 

Dalam lokakarya PDC yang dilakukan di jemaatnya, Bapak Frans antusias dan seksama mengikuti setiap sesi meskipun ia telah cukup berumur. Pada sesi Tanda Keutuhan dan Tanda Kehancuran, ia terlihat sering menghela nafas panjang dan menahan air mata. “Sesi ini sangat menyentuh sekali buat saya, kita selalu hanya harap yang baik saja, tetapi kisah-kisah yang hancur sering kita sembunyikan dan tidak mau bicarakan,” tuturnya. Pengalaman setiap sesi yang diikutinya membuatnya merefleksikan perjalanan kehidupan keluarganyanya yang penuh tantangan. 

Bapak Frans dan istrinya terlihat sangat bersemangat ketika bercerita mengenai setiap sesi lokakarya PDC yang telah mereka ikuti. “Di jemaat kami selalu orang khotbah tentang kebaikan-kebaikan saja. Tidak pernah orang mau bicara yang hancur-hancur ini, padahal kita tahu kita semua punya pengalaman buruk-buruk juga. Perlu kita cerita yang buruk-buruk ini dan cari jalan keluar yang baik. Tapi ini tidak pernah kita lakukan. Saya rasa lewat sesi seperti ini sangat menolong sekali kami untuk keluarkan semua yang ada di dalam hati,” ungkapnya. Lokakarya PDC kali ini dihadiri oleh 16 orang tua, termasuk Bapak Frans dan istrinya. 

Bapak Frans adalah ayah dari empat orang anak. Saat ini, Bapak Frans sedang bergumul dengan masa depan anak bungsunya. Bapak Frans mengeluhkan kondisi anaknya yang belum bekerja dan sangat nakal serta suka mabuk-mabukan. Karena perilaku ini, Bapak Frans dan istrinya tidak memberi restu ketika anaknya meminta izin untuk mengikuti tes masuk akademi polisi atau tentara. Mereka menganggap anak ini tidak berbakti dan tidak pantas untuk diberi restu. Bapak Frans dan anak ini kerap beradu mulut hingga sering kali keluar ucapan dan umpatan keras dari mulut Bapak Frans. 

Setelah mengikuti lokakarya ini, Bapak Frans mulai melakukan intropeksi pribadi dan mulai belajar mengampuni serta mengasihi lebih sungguh lagi. “Saya dulu anggap saya pu anak pu kelakukan nakal dan sikap suka mabuk-mabuk itu murni kesalahannya dia. Saya sampai di titik di mana saya kutuk dia. Tapi setelah ikut PDC ini, saya sadar kalau kelakukan dia itu juga karena cara asuh saya yang salah. Saya terlalu keras dengan dia. Saya tra pernah mau dengar maunya dia. Saya juga kurang apresiasi dia. Jadi sekarang saya menyesal dan mau jadi tiang doa untuk saya punya anak dan mau betul-betul seperti bapak yang baik seperti di cerita Kisah Bapak, Anak Sulung, dan Anak Bungsu” ceritanya. Kisah tersebut merupakan materi dari sesi Benih Kebaikan yang terdapat dalam modul pelatihan Pengasuhan dengan Cinta untuk konteks agama Kristen. 

Kini Bapak Frans berkomitmen untuk sungguh-sungguh menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya dan juga bagi banyak orang tua di jemaatnya. Mereka bersedia membagikan pengetahuan tentang bagaimana harusnya mendidik dan mendisiplinkan anak yang benar, tanpa kekerasan. Pengalaman pengasuhan anak mereka yang dididik dengan kekerasan dan dampak yang terjadi pada anaknya menjadi cambuk yang memotivasi mereka untuk mendorong makin banyak orang tua lain mengubah pola pikir dan asuh terhadap anak. Bapak Frans berharap, tidak ada lagi anak yang tumbuh dengan kekerasan.  

“Kami berdua dari kemarin sudah mulai jalan ke tetangga-tetangga cerita tentang materi-materi yang kami dapat, kami bilang ini bagus sekali. Kami ajak dong kalau nanti ada lagi kegiatan WVI seperti ini untuk ikut. Karena ini akan menolong kita semua sebagai orang tua. Kami juga nanti akan ajak orang-orang tua lewat ibadah-ibadah untuk terapkan materi yang kami dapat ini di rumah mereka masing-masing supaya kampung ini berubah dan maju,” pungkas Bapak Frans. 

PDC telah mengubahkan hati sepasang suami istri dan mendorong transformasi dalam keluarganya. Hubungan yang rusak antara orang tua dan anak mulai dipulihkan dan cinta kasih yang murni mulai dibangun. Kisah Bapak Frans dan keluarganya ini mengajarkan kita bahwa tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai. 

 

 

Penulis: Theodor Okoka (Program Coordinator kantor operasional WVI di Sentani dan Sarmi) 

Penyunting: Mariana Kurniawati (Communication Executive) 


Artikel Terkait