Tetap Berkebun Demi Warisan Bagi Anak Cucu

Tetap Berkebun Demi Warisan Bagi Anak Cucu

Maximus Mokos, atau lebih dikenal dengan sapaan Om Maxi, adalah seorang petani kelor di Desa Naiola, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Dalam bertani, Om Maxi mengakui tidak begitu fokus pada komoditi tertentu. Sejak mengikuti pelatihan penanaman kelor yang diselenggarakan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kupang, ia mulai memiliki pengetahuan dan kesadaran untuk menanam kelor.

Dahulu Om Maxi hanyalah menanam sayur, tapi itupun hanya sekali selama 3 bulan dalam setahun. Ia kerap melakukan hal ini setiap tahunnya. Awalnya, suami dari Martha Sanam ini berkebun dengan sistem ‘tebas bakar’ dan berpindah-pindah setiap tahunnya. 

Dengan bekal pengetahuan yang ia hasilkan dari pelatihan yang pernah diterimanya, ia sudah memiliki lahan kelor sendiri seluas 1,79 ha: 1.5 ha adalah cluster daun dan 0.29 ha sisanya adalah cluster biji. Dari hasil lahan cluster daun ini, ia juga terlibat dalam membantu penanganan kasus stunting di Kabupaten TTU dengan menjual daun kelor di Desa Naiola, Taekas dan Amol dengan hasil Rp100.000, per 3 hari per desa selama 1 minggu.

Om Maxi terlibat dalam kegiatan ini selama 6 kali (1,5 bulan) saja karena stok daun sudah mulai menurun bertepatan dengan musim kemarau. Selain itu, Maxi juga sudah menjual 5 kg daun kering dengan harga Rp25.000/kg dan 10 kg kelor biji dengan harga Rp85.000/kg ke Pemdes Naiola.

Kini, ayah tiga anak ini telah berkebun menetap sejak menanam kelor tahun 2018. Ia menyadari bahwa dengan menanam kelor ia tidak perlu repot setiap tahun untuk berpindah-pindah lahan perkebunan karena kelor ditanam pada lahan yang sama dan hanya dilakukan sekali seumur hidup. Kelor yang ditanam oleh Om Maxi sudah mulai berbuah.

“Saya sekarang mulai merasa senang karena walaupun saya belum menikmati hasil secara penuh tapi saya yakin dan percaya bahwa Tuhan tidak akan pernah menutup mata dengan orang yang selalu berdoa dan bekerja keras,” tegasnya optimis. 

Om Maxi menargetkan dalam waktu 2 hingga 3 tahun ke depan akan memanen hasil kelor dalam jumlah besar. Pria 52 tahun ini bermimpi bahwa tanaman kelor ini akan menjadi warisan buat ketiga anak-anaknya. Menurutnya, mimpi ini terwujud jika pemerintah dan LSM memberikan pendampingan tentang cara pengolahan pascapanen serta mendekatkan akses pasar kepada petani.

Seiring berjalannya waktu, banyak hasutan dari orang lain yang mengatakan bahwa kelor tidak memiliki pasar, tetapi semangat Om Maxi hingga sekarang tak pernah pudar. Namun, kini kelor menjadi komoditas utama dari program Gubernur NTT yang diberi nama “Revolusi Hijau” yang mengharuskan setiap daerah menanam kelor sebagai sumber gizi dan sumber pendapatan ekonomi.

Om Maxi kini dapat tersenyum melihat banyak pihak tergerak bersama menanam kelor. Dirinya berharap dapat bisa dihubungkan dengan pasar atau pembeli kelor oleh WVI, sehingga usaha mereka tidak tersendat. Dengan demikian maka usaha mereka tetap berkelanjutan hingga menjadi warisan bagi anak cucu.

Ditulis oleh: Kalistus Taena, External Consultant Project Moringa NTT Wahana Visi Indonesia

 


Artikel Terkait