Kampanye Baca Tanpa Batas demi Dongkrak Literasi Papua

Kampanye Baca Tanpa Batas demi Dongkrak Literasi Papua

Anak-anak SD di Kampung Damen, Kecematan Siret, Asmat, Papua, bergembira menyambut awak media dan bersama Wahana Visi Indonesia yang datang berkunjung ke kampung tersebut, Selasa (22/6/2022).

KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR - Anak-anak SD di Kampung Damen, Kecematan Siret, Asmat, Papua, bergembira menyambut awak media dan bersama Wahana Visi Indonesia yang datang berkunjung ke kampung tersebut, Selasa (22/6/2022).

Literasi merupakan kemampuan yang penting dimiliki seorang anak untuk bisa belajar dan mengakses berbagai informasi. Namun, di Papua, hingga kini kemampuan literasi di kalangan anak-anak masih jauh tertinggal dibandingkan teman-teman sebaya mereka lainnya di Tanah Air. Bahkan, aktivitas literasi di Papua paling rendah dari seluruh provinsi di Indonesia.

Hasil survei literasi yang dilakukan Wahana Visi Indonesia (WVI) di akhir tahun 2022 di Papua, khususnya di Kabupaten Sentani, Biak, Pegunungan Tengah, dan Asmat, menunjukkan rata-rata hanya 36,1 persen anak kelas 3 sekolah dasar (SD) di wilayah tersebut yang memiliki keterampilan membaca dengan pemahaman.

Di empat kabupaten yang merupakan area pendampingan WVI, tingkat kemampuan literasinya berbeda-beda. Dari survei, anak-anak di Asmat yang kemampuan literasinya paling rendah, hanya 26,5 persen. Guru di Asmat yang melakukan kegiatan literasi dasar di sekolah pun kurang dari 10 persen.

”Guru jarang membacakan buku cerita di kelas, jarang bertanya pada anak apa yang sedang mereka baca, dan jarang mengajarkan kosakata baru. Anak-anak kelas III SD di Asmat hanya bisa membaca lima kata dengan benar dalam waktu satu menit, sedangkan standarnya murid kelas III SD bisa membaca sampai 80 kata per menitnya,” ungkap Marthen S. Sambo, Education Team Leader WVI, saat berdialog dengan media, Selasa (11/7/2023).

Rendahnya kemampuan literasi anak-anak Papua dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Selain dalam budaya Papua, lebih didominasi oleh budaya tutur, kondisi tersebut juga karena dukungan guru yang menguasai literasi sangat minim. Bahkan, hingga kini masih ditemukan guru-guru di Papua yang tidak menguasai literasi.

Di Biak, misalnya. Marthen mencontohkan, kondisi saat ini banyak guru yang sudah berusia lanjut. Hal ini membuat mereka sulit mengikuti inovasi kegiatan belajar-mengajar yang dapat memicu keterampilan membaca dari muridnya.

Sementara itu, pengawasan sekolah pun tidak berjalan, karena semua pengawas di Biak sudah pensiun. Menurut data WVI, pada tahun 2022 hanya 40,9 persen anak kelas 3 SD di Biak yang terampil membaca dan memahami isi bacaannya.

Kondisi literasi di Papua beberapa tahun terakhir mulai meningkat seiring pendampingan yang dilakukan WVI dan sejumlah lembaga. Setidaknya terlihat dari data survei Kemampuan Membaca dengan Pemahaman siswa kelas 3 SD di wilayah dampingan WVI yang dilakukan WVI selama dua tahun terakhir.

Para siswa SMAN 1 Biak, Papua, mengikuti acara temu astronom bersama Tim Planetarium Jakarta di sekolah mereka, Selasa (18/4/2023).

KOMPAS/RADITYA HELABUMI - Para siswa SMAN 1 Biak, Papua, mengikuti acara temu astronom bersama Tim Planetarium Jakarta di sekolah mereka, Selasa (18/4/2023).

Dari survei yang menggunakan instrument STAR (school-based test about reading) di Kabupaten Sentani, Biak, Pegunungan Tengah, dan Asmat terlihat ada peningkatan kemampuan membaca dengan pemahaman dari anak-anak di empat kabupaten tersebut.

Di Asmat, pada tahun 2021 pembaca pemulanya nol persen, anak yang membaca dengan pemahaman hanya 10,9 persen. Namun, pada survei tahun 2022, jumlah pembaca pemulanya sudah ada 10,2 persen, dan kemampuan membaca dengan pemahaman naik menjadi 26,5 persen.

Di Jayawijaya, pada 2021 pembaca pemulanya 5 persen, dan anak yang membaca dengan pemahaman hanya 34 persen. Namun, pada survei 2022, jumlah pembaca pemulanya menurun tinggal 4 persen, dan kemampuan membaca dengan pemahaman naik menjadi 52 persen.

Di Papua, selama beberapa tahun terakhir, literasi menjadi salah satu fokus isu yang dikerjakan WVI. Di empat kabupaten tersebut, mayoritas anak tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Monita Tahalea, Penyanyi, Hope Ambassador Wahana Visi Indonesia (baju putih, kanan bawah) bersama Gaby Cristy, Penyanyi, Duta Kampanye Baca Tanpa Batas (kiri bawah) menyampaikan pengalamannya saat berkunjung ke Biak, Papua, beberapa waktu lalu. Kepada media di Jakarta, Selasa (11/7/2023) Monita mengaku tersentuh menyaksikan langsung anak-anak di Papua yang masih menggunakan seragam SD, tapi umurnya sudah dewasa. Acara yang dipandu Margareth Mawarlestari A, Media Relations Executive WVI, juga dihadiri Marthen S. Sambo, Education Team Leader WVI (kanan atas).

TANGKAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL - Monita Tahalea, Penyanyi, Hope Ambassador Wahana Visi Indonesia (baju putih, kanan bawah) bersama Gaby Cristy, Penyanyi, Duta Kampanye Baca Tanpa Batas (kiri bawah) menyampaikan pengalamannya saat berkunjung ke Biak, Papua, beberapa waktu lalu. Kepada media di Jakarta, Selasa (11/7/2023) Monita mengaku tersentuh menyaksikan langsung anak-anak di Papua yang masih menggunakan seragam SD, tapi umurnya sudah dewasa. Acara yang dipandu Margareth Mawarlestari A, Media Relations Executive WVI, juga dihadiri Marthen S. Sambo, Education Team Leader WVI (kanan atas).

”Hampir semua di wilayah dampingan kami masalahnya sama, yakni tidak merata secara kuantitas dan kualitas guru yang mengajar. Kami juga melihat keterampilan dasar yang harusnya diajarkan pada anak-anak, tidak semua diajarkan. Materi bacaan anak-anak masih kurang,” kata Marthen.

Kampung literasi

Dari survei tersebut, WVI yang merupakan lembaga yang berfokus pada isu anak, selain melakukan pendampingan di beberapa desa, juga menggelar ”Kampanye Baca Tanpa Batas” untuk menjawab permasalahan rendahnya literasi anak di Papua.

Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan literasi anak-anak di Papua melalui Kampung Literasi (KL) yang meliputi pembangunan tiga rumah baca, penyediaan lima motor pustaka, penyediaan materi kontekstual dan alat peraga, serta penguatan masyarakat dan pemerintah, termasuk melatih tutor.

Kampung Literasi merupakan intervensi kolaboratif dari WVI bersama para pemangku kepentingan di kampung, mulai dari anak, orang tua/pengasuh, perangkat kampung, hingga institusi keagamaan, masyarakat, dan pemerintah. Tujuannya untuk meningkatkan akses anak pada kegiatan-kegiatan literasi yang berkualitas di kampung di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).

Siswa kelas 1 di SD YPPK St Agustinus di Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika, Papua, mengikuti pelajaran membaca dan menulis, Senin (4/3/2019).

KOMPAS/PRIYOMBODO - Siswa kelas 1 di SD YPPK St Agustinus di Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika, Papua, mengikuti pelajaran membaca dan menulis, Senin (4/3/2019).

Harapannya, kegiatan kampung literasi akan berdampak pada meningkatnya persentase anak usia SD, seperti di daerah Papua, yang mampu membaca dan memahami bacaannya.

”Sebenarnya anak-anak di Papua mempunyai potensi yang luar biasa. Mereka bersemangat belajar hal-hal yang baru. Namun, sayangnya masih ada banyak hal yang menjadi gap yang cukup besar antara tingkat literasi anak-anak di Papua dan anak-anak di daerah lain,” ujar Yuventa, Head of Public Engagement & Communications WVI.

Yuventa menegaskan, WVI sangat percaya literasi sangat penting bagi anak-anak Papua karena membuka potensi generasi muda di Papua sehingga bisa menggapai mimpi mereka. Karena itu, WVI mengajak masyarakat luas untuk mewujudkan ekosistem literasi yang baik bagi anak-anak di Papua.

Kami menggerakkan hati semua orang untuk bersama-sama dalam Kampanye Baca Tanpa Batas sehingga kita bisa membantu anak-anak Papua.

”Kami mengerakkan hati semua orang untuk bersama-sama dalam Kampanye Baca Tanpa Batas sehingga kita bisa membantu anak-anak Papua punya literasi yang baik melalui kampung literasi. Kami percaya kita punya hati yang sama, dan lebih banyak lagi yang bergabung dalam kampanye ini,” ujar Yuventa.

Anak-anak Kampung Yaboi, Danau Sentani, Jayapura, Papua, mengikuti kegiatan membaca bersama di Perahu Pustaka, Kamis (23/11).

KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDI - Anak-anak Kampung Yaboi, Danau Sentani, Jayapura, Papua, mengikuti kegiatan membaca bersama di Perahu Pustaka, Kamis (23/11).

Untuk memberikan semangat pada anak-anak di Papua dalam meningkatkan kemampuan menulis, membaca, dan berhitung dengan pemahaman, WVI mengajak sejumlah figur publik, seperti penyanyi Monita Tahalea, Gaby Cristy, Joanna Alexandra, Sidney Mohede, Becky Tumewu, Kezia Aletheia, dan Jovial Da Lopez, untuk bersama dalam Kampanye Baca Tanpa Batas di Papua.

Beberapa waktu lalu, Monita Tahalea, penyanyi, Hope Ambassador WVI, bersama Gaby Cristy, penyanyi, Duta Kampanye Baca Tanpa Batas, berkunjung ke Biak. Monita mengaku tersentuh menyaksikan langsung anak-anak di Papua yang masih menggunakan seragam SD, tetapi umurnya sudah dewasa.

Yang paling mengkhawatirkan adalah di lingkungan sekolahnya. Sebab, banyak guru yang tidak hadir di sekolah sehingga waktu belajar anak dengan guru sangat sedikit sekali. Akibatnya, anak-anak tidak mendapatkan pelajaran yang dibutuhkan.

Padahal, masyarakat sebenarnya punya kerinduan besar untuk anak-anak bisa membaca. ”Dari anak-anak juga semangat besar. Kebayang kalau mereka bisa baca, pasti wawasannya lebih luas. Bayangan mereka tentang dunia ini akan lebih luas lagi,” kata Monita, yang menemukan anak tidak bisa mengeja nama anak itu sendiri.

Presiden Joko Widodo menerima 30 siswa perwakilan sekolah dasar Kabupaten Jayapura dan Asmat, Provinsi Papua, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 11 Oktober 2019. Presiden Jokowi mewujudkan janjinya untuk mengundang sejumlah anak-anak asal Papua berkunjung ke ibu kota, Jakarta.

LUKAS - BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN - Presiden Joko Widodo menerima 30 siswa perwakilan sekolah dasar Kabupaten Jayapura dan Asmat, Provinsi Papua, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 11 Oktober 2019. Presiden Jokowi mewujudkan janjinya untuk mengundang sejumlah anak-anak asal Papua berkunjung ke ibu kota, Jakarta.

Padahal, menurut dia, pengenalan akan diri sendiri itu penting. Anak-anak yang mengetahui identitasnya akan mempunyai jiwa kepemimpinan, mereka tidak akan takut bertanya dan lebih berani. Selain itu, anak-anak yang punya kemampuan literasi juga akan paham ketika ada kekerasan mengancam, dan bisa terhindar dari kasus kekerasan seksual.

Gaby prihatin melihat kesenjangan pendidikan antara Papua dan Jawa, terutama ketersediaan guru yang sangat minim di Papua. Kendati demikian, ia optimistis kemampuan literasi anak-anak Papua akan meningkat jika ada dukungan pada masyarakat Papua, khususnya orangtua.

”Karena tidak mengerti literasi, maaf mereka agak dibodoh-bodohin. Akhirnya ikut aja apa yang orang omongin, mereka percaya-percaya aja,” kata Gaby.

Bagi anak-anak yang tinggal di pelosok hutan ini, kesempatan mendapat pendidikan di sejak usia dini masih merupakan sebuah mimpi.

Begitu juga anak-anak. Mereka tidak mempunyai keinginan untuk meneruskan bersekolah karena melihat orangtuanya berkebun sudah cukup. Padahal, kesempatan mereka besar jika mereka memahami literasi.

Karena itulah, perhatian dan dukungan semua pihak untuk bekerja sama meningkatkan literasi anak-anak di Papua menjadi penting sehingga bisa menghasilkan perubahan yang luar biasa bagi peningkatan literasi anak-anak di Papua.

Melalui Kampanye Baca Tanpa Batas, WVI mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut mengambil peran dalam mewujudkan harapan anak-anak di Papua untuk masa depan yang lebih baik. Publik pun diajak memberikan dukungan melalui donasi untuk bersama mewujudkan Kampung Literasi atau berpartisipasi melalui pembuatan video kreatif yang dapat menjadi bahan ajar untuk anak-anak di Papua. Dukungan tersebut bisa disampaikan melalui wahanavisi.org/bacatanpabatas.

Persoalan pendidikan

Pendidikan dasar dan menengah anak-anak merupakan salah satu persoalan besar di wilayah Papua. Rendahnya kemampuan literasi anak-anak Papua ditemui Kompas saat mengunjungi beberapa desa di Kabupaten Asmat pertengahan tahun 2022 lalu. Sebagian besar anak-anak di kampung tersebut terancam buta aksara.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/GnwwV6sSNH1taGlKFE9g6YTihqw=/1024x1638/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F05%2Fc3441cc1-2a32-41d9-b4bd-fd47c664aa6c_png.png

Misalnya, di Kampung (Desa) Damen, Distrik (Kecamatan) Siret (untuk menjangkau desa Damen dari Agats, ibu kota Asmat, membutuhkan waktu sekitar tiga jam dengan menggunakan dengan perahu motor 85 PK). Anak-anak di desa yang berada di tengah hutan rawa di salah satu daerah pelosok Kabupaten Asmat kesulitan mengakses pendidikan.

Tidak ada dataran kering di wilayah tersebut. Semuanya rawa dan penuh berlumpur. Rumah-rumah dan jalan kampung dibangun sekitar dua meter dari atas permukaan rawa. Listrik dan jaringan komunikasi pun tidak ada. Meskipun ada SD, guru jarang datang.

Kampung Akamar, Warse, dan Birak, Kecamatan Jetsy (sekitar satu jam perjalanan perahu motor perjalanan dari Kampung Damen), tidak jauh berbeda dengan Damen. Di kampung tersebut ada sebuah SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) St Fransiskus Xaverius Warse dengan lima guru termasuk kepala sekolah. Namun, hanya dua orang yang berstatus aparatur sipil negara. Sisanya guru dari yayasan. Jumlah siswa 139 orang.

Sejumlah anak-anak di Kampung Birak, Distrik Jetsy, Kabupaten Asmat, Papua, bermain di lapangan olahraga, Rabu (22/7/2022) siang. Lapangan yang terbuat dari papan yang berdiri di atas permukaan rawa-rawa merupakan bantuan pembaca harian <i>Kompas </i>melalui Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas.

KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR - Sejumlah anak-anak di Kampung Birak, Distrik Jetsy, Kabupaten Asmat, Papua, bermain di lapangan olahraga, Rabu (22/7/2022) siang. Lapangan yang terbuat dari papan yang berdiri di atas permukaan rawa-rawa merupakan bantuan pembaca harian Kompas melalui Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas.

Meski sudah ada sekolah, tiap hari ada saja murid yang tidak datang ke sekolah dengan berbagai alasan. Bahkan, banyak yang putus sekolah. Ketika berada di kelas 4 hingga kelas 6 tinggal beberapa orang. Mereka berhenti sekolah karena menjaga adik-adiknya atau diajak orangtua mencari sagu di hutan.

Kondisi tersebut membuat mayoritas anak-anak di Asmat baru menyelesaikan SD di atas 15 tahun. Jarang ada yang duduk di kelasnya sesuai dengan usianya anak SD umumnya. Kemampuan membaca, menulis, dan berhitung pun sangat rendah. Rata-rata baru di kelas IV SD mereka mulai mengenal huruf, menulis, dan berhitung.

Di Asmat, umumnya masyarakat bekerja sebagai peramu, yakni mencari makan di daerah tempat dia tinggal, seperti mencari sagu, menangkap ikan, atau berburu hewan. Demi mendapatkan uang, sejumlah keluarga di Asmat, seperti di Kampung Damen, meninggalkan kampung dalam waktu berbulan-bulan bahkan sampai setahun. Seluruh keluarga dibawa, termasuk anak-anak.

Bagi anak-anak yang tinggal di pelosok hutan ini, kesempatan mendapat pendidikan di sejak usia dini masih merupakan sebuah mimpi. Tidak semua anak bisa sampai lulus SD, apalagi melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Jika ada yang melanjutkan ke jenjang SMP, SMA, hingga kuliah itu hanya hitungan jari. Itu pun hanyalah anak-anak dari keluarga yang benar-benar mampu.

Data Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat, hingga tahun 2022 di 23 distrik terdapat 136 SD dengan 20.858 siswa dan 19 SMP dengan 3.044 siswa. Namun, untuk jumlah guru SD-SMP sekitar 400-an sudah termasuk guru kontrak dan honorer.

Pendidikan mendapat menjadi tantangan besar yang hingga kini menjadi tantangan Asmat. Salah satu pekerjaan berat adalah membebaskan Asmat dari buta aksara. Selain pendidikan formal, mengajarkan anak-anak melalui pendidikan informal juga menjadi jalan untuk mengajarkan anak-anak membaca, menulis, dan berhitung.


Artikel Terkait