OPINI: Mendirikan Sekolah Saja Tak Cukup untuk Asmat
Saya ingin mengajak Anda untuk terbang ke Asmat, Papua. Saya mengajak Anda mengunjungi anak-anak di sana, yang hingga detik ini masih dihantui tingginya angka buta aksara.
Menurut UNDP, Asmat memiliki tingkat melek huruf rendah yaitu 79,19 persen di tahun 2020. Angka ini jauh sekali di bawah angka rata-rata nasional yang mencapai 98,44 persen. Artinya, lebih dari 20 persen masyarakat di Asmat yang berusia di atas 15 tahun adalah buta huruf.
Penelitian (baseline survey) terakhir Wahana Visi Indonesia (WVI, 2022), tentang kemampuan membaca anak di empat sekolah yang akan didampingi, tercatat hanya 10,87 persen siswa kelas 3 yang bisa membaca dan memahami isi bacaan.
Sisanya sebanyak 89,13 persen siswa belum bisa membaca sama sekali. Dalam kontinum pembelajaran literasi, 89,13 persen anak di kelas 3 ini terancam mengalami ketertinggalan dalam perkembangan literasinya yakni belum bisa mencapai fase “membaca untuk belajar (read to learn)”.
Penelitian WVI lainnya pada tahun 2021, di Asmat ada 42,72 persen anak usia 7–24 tahun yang tidak bersekolah di Asmat. Sementara di usia 0–6 tahun, ada 3,59 persen yang tidak mengikuti partisipasi pra sekolah atau kegiatan-kegiatan stimulasi perkembangan anak untuk kesiapan sekolah misalnya akses ke PAUD.
Sedangkan total jumlah anak di Asmat diperkirakan ada 61.491 jiwa, lebih dari setengah total pendudukdi kabupaten tersebut. Melihat kondisi tersebut kita dapat memprediksi kondisi Asmat beberapa tahun ke depan, tidak akan jauh berbeda dengan sekarang. Di mana kemiskinan, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan, dan tingginya kasus kekerasan terhadap anak masih akan terjadi.
Tanpa pendidikan yang cukup, anak jadi lebih mudah ditipu, dimanipulasi, tidak punya posisi tawar yang baik, tidak mampu bersaing, dan masih banyak lagi risiko lain.
Pendidikan adalah salah satu hak dasar anak, maka merupakan tanggung jawab kita bersama untuk dapatmenjamin, melindungi, dan memenuhinya.
Tugas pemerintah belum selesai hanya dengan membangun sekolah, menyusun kurikulum dan memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Menjamin ketersediaan pengajar yang berkomitmen, kompeten dan memastikan bahwa anak-anak benar-benar mengakses fasilitas pendidikan juga merupakan tugas negara.
Terpenuhinya hak anak di bidang pendidikan merupakan pondasi dan modal anak sebagai generasi penerus pembangunan bangsa yang lebih maju, adil dan makmur sebagaimana cita-cita pendiri bangsa Indonesia.
Kekurangan Guru Tak Tepat Dijadikan Alasan
Sering kali disampaikan bahwa tantangan terbesar pendidikan di Asmat adalah karena sedikitnya jumlah guru yang mau mengajar di sana. Hal ini sama sekali tidak dapat dijadikan alasan. Memberikan insentif lebih bagi yang bersedia menjadi pengajar di Asmat semestinya dilakukan untuk mendorong minat guru.
Jika mengatakan bahwa fasilitas sekolah sudah ada tetapi sedikit sekali anak yang bersekolah karena harus membantu orang tuanya mencari nafkah, maka mesti solusinya harus dicari.
Suku Asmat memang sebagian besar masih menjalankan tradisi meramu, yaitu mengambil makanan dari hutan-hutan yang ada di sekitar mereka. Masyarakat bisa pergi ke hutan untuk jangka waktu yang cukup lama, bahkan sampai berbulan-bulan.
Anak-anak biasanya dibawa oleh orangtua ikut meramu dan tinggal di hutan. Ketika kembali ke desa dan bersekolah, mereka sudah lupa dengan apa yang mereka pelajari.
Bahkan jika anak kembali ke kampung melewati masa tahun ajaran, maka terpaksa mereka mengulang kelas atau akhirnya putus sekolah.
Ironisnya, di tengah kondisi ini, tahun 2020 Polda Papua justru menemukan adanya dugaan korupsi terkait dana desa di lima kabupaten di Papua, termasuk Asmat. Di dalam dana-dana desa yang dikorupsi, terdapat anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi pendidikan. Ini menunjukkan belum maksimalnya upaya pemerintah daerah untuk memperbaiki kondisi melek huruf dan pendidikan di daerah Asmat.
Sekali lagi, mendirikan sekolah saja tidak cukup. Jika anak-anak tidak pernah pergi ke sekolah tersebut, maka pendirian sekolah adalah sebuah kegagalan. Harus ada solusi yang membuat anak terus berada di sekolah demi kepentingan terbaik mereka.
Bersinergi dan berkolaborasi dengan masyarakat adat, pemuka agama, lembaga-lembaga masyarakat dan bahkan orang tua anak mesti direalisasikan untuk menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama.
Kita tidak boleh berpasrah pada kondisi yang memang banyak tantangan, sehingga diperlukan inovasi dan juga kerja cerdas dan terukur untuk mengejarketertinggalan pendidikan anak-anak di Asmat.
Pendidikan sangatlah penting. Dengan pendidikan, kita dapat mencegah potensi anak-anak menjadi korban penipuan dan eksploitasi, mempertahankan ruang hidup, memahami lingkungan lebih baik dan mencapai potensi maksimalnya. Melalui pendidikan pula, anak-anak lebih mudah dikenalkan tentang hak-hak anak, serta cara melapor jika haknya dilanggar.
Di sisi lain, perkembangan di luar Asmat semakin pesat, ironis rasanya membiarkan anak-anak di Asmat dalam kondisi kemampuan literasi dan pendidikanyang rendah. Alangkah baiknya jika pemerintah dan tentu saja kita semua yang peduli pada kondisi anak-anak di Asmat, melakukan sesuatu tindakan nyata untuk membantu pendidikan mereka.
Dengan pendidikan yang memadai dan berkualitas, anak-anak di Asmat dapat kita harapkan menjadi generasi yang memperbaiki kondisi Asmat di masa mendatang.
Membiarkan anak-anak di Asmat hidup di dalam kondisi pendidikanyang buruk, sama artinya melanggengkan kekerasan terhadap anak-anak yang ada di sana. Sejatinya mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak dasar setiap anak.
Marthen Sattu Sambo, Education Team Leader Wahana Visi Indonesia
Artikel Opini ini telah terbit di: https://www.liputan6.com/regional/read/5151485/opini-mendirikan-sekolah-saja-tak-cukup-untuk-asmat